Sejak berlakunya otonomi daerah telah
terjadi perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan yang berdampak luas
bagi lembaga pemerintah di tingkat pusat sampai tingkat daerah. Hal ini
tercermin dalam penyelenggaraan pemerintah yang otonom dan terdesentralisasi
dibandingkan dengan paradigma lama yang dalam penyelenggaraan pemerintahannya
terpusat dan di bawah kendali langsung dari pemerintah pusat. Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang di revisi dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang
mengamanatkan pemberian otonomi yang luas, nyata, bertanggung jawab, dan
dinamis. Dengan demikian, daerah di berikan kemandiriaan dan kewenangan dalam
menyeleng-garakan pemerintahan di daerahnya.
Perubahan yang terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan akibat Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
adalah menyangkut kedudukan, tugas, fungsi, dan kewenangan kecamatan. Perubahan
tersebut secara langsung maupun tidak langsung mengubah bentuk organisasi,
pembiayaan, pengisian personil, pemenuhan kebutuhan logistik serta
akuntabilitasnya. Perubahan tersebut diawali dengan perubahan defenisi kecamatan.
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974,
kecamatan merupakan wilayah administratif pemerintahan dalam rangka
dekonsentrasi, yakni lingkungan kerja perangkat pemerintah yang
menyelenggarakan tugas pemerintahan umum di daerah. Namun dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, kecamatan merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat
daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, dulu kecamatan merupakan wilayah
kekuasaan, tetapi sekarang merupakan wilayah pelayanan (Wasistiono, 2007).
Menurut Utomo (2004), pelimpahan kewenangan
dari bupati/walikota kepada camat merupakan suatu keharusan untuk menciptakan
efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan sekaligus meningkatkan
kualitas pelayanan umum di daerah. Apabila kewenangan di biarkan terkonsentrasi
di tingkat kabupaten/kota, paling tidak terdapat dua permasalahan. Pertama,
pemkab/pemkot akan cenderung memiliki beban kerja yang terlalu berat, sehingga
fungsi pelayanan kepada masyarakat menjadi kurang efektif. Kedua, kecamatan
sebagai perangkat kabupaten/kota dan desa/kelurahan sebagai perangkat kecamatan
menjadi organisasi dengan fungsi minimal.
Sehubungan dengan itu, otonomi daerah
berarti memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah
pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah lebih cepat
dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki. Karena kewenangan membuat kebijakan (peraturan daerah) sepenuhnya
menjadi wewenang daerah otonom, sehingga pelaksanaan tugas umum pemerintahan
dan pembagunan dapat berjalan lancar dan berkualitas.
Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah
sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah ),
sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk
mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom. Terpusatnya umber daya
manusia berkualitas di kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah seiring
dengan pelaksanaan otonomi daerah karena kegiatan pembangunan akan bergeser
dari pusat ke daerah.
Namun proses implementasi otonomi
daerah belum berjalan mulus karena banyak orang yang melupakan hakekat dari
otonomi itu sendiri. Semangat otonomi menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
merupakan kesatuan kewenangan masyarakat hukum di daerah untuk mengatur urusan
rumah tangganya sendiri. Kesatuan masyarakat hukum tersebut tidak hanya
pemerintah Kabupaten atau Kota saja, tetapi juga meliputi para pelaku bisnis
lokal, organisasi kemasyarakatan, lembaga profesi, serta unit pemerintahan yang
lebih kecil seperti kecamatan sampai kelurahan/desa.
Guna lebih mengembangkan peran ini, pembangunan aparatur
pemerintah diarahkan untuk meningkatkan kualitas aparatur agar lebih bersikap
arief dan bijaksana serta berdedikasi yang tinggi terhadap pengabdian, sehingga
dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal sesuai tuntutan
perkembangan zaman yang berlangsung selama ini.
Karena itu, maka urusan penyelenggaraan pemerintahan yang hampir
semuanya dilaksanakan di pusat sudah mulai didistribusikan kepada daerah.
Mengingat volume dan aneka ragam urusan pemerintahan dan
pembangunan yang diselenggarakan di daerah sedemikian kompleksnya serta
memerlukan penyelesaian yang cepat dan tepat, diperlukan koordinasi dan
pengendalian yang intensif. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya
urusan pemerintahan dan pembangunan dalam kerja sama yang serasi antara
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Dalam konteks yang demikian, berarti unsur manusia akan
berkurang bila tidak disertai dengan ketaatan pada peraturan atau prosedur
aturan permainan yang berlangsung pada sebuah organisasi atau pemerintahan.
Karena itu diperlukan kedisiplinan dan manajemen kinerja yang tinggi agar
manusia benar-benar berfungsi sebagai kekuatan pembangunan, sehingga pelaksanaan
pembangunan dapat merata di seluruh tanah air, guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Selain itu juga diperlukan
keserasiaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang pada akhirnya
pemerintah daerah harus memberikan konstribusi dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan pembangunan daerah yang lebih baik. Dan kedepannya bisa menjadi tolak ukur
atau menjadi percontohan buat daerah lainnya dalam hal penerapan P 41 tahun
2007.
Pelimpahan wewenang tersebut diharapkan pemerintah daerah
mampu lebih meningkatkan efisiensi alokasi sumberdaya dan daya tanggap
pemerintah, serta akan membawa pemerintah daerah lebih dekat dengan warganya.
Diharapkan pada gilirannya nanti akan mengarah pada peningkatan kualitas
pelayanan publik. Selain itu, para pejabat daerah lebih efektif dan efisien melakukan
monitoring dibandingkan dengan pejabat pemerintah pusat karena memiliki
kedekatan jarak sehingga bisa mengontrol aktivitas.
Dalam rangka menjamin penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan di daeran secara mantap, serasi, berdaya guna dan berhasil guna,
untuk itu pemerintah telah menenetapkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, dengan pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab
sebagai azas pelaksanaan pembangunan di daerah, dengan titik berat pada daerah
kabupaten atau kota. Pada akhirnya pemerintah daerah harus memberikan
konstribusi dalam penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan ke arah yang
lebih baik. Semakin luasnya kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah
dewasa ini, menuntut bagi setiap pemerintah daerah untuk cerdas dalam
mengembangkan daerahnya dengan melihat berbagai sumber daya yang dimilikinya.
Merancang perangkat daerah serta program kerja yang efektif dan efisien bagi
pembangunan daerah.
Namun, seiring dengan perkembangan kewenangan yang diberikan
kepada pemerintah daerah, justru bermunculan masalah yang hampir seragam di
berbagai pemerintah daerah. Antara lain semakin banyaknya perangkat daerah yang
dibentuk tanpa rincian tugas, fungsi dan tata kerja yang tidak jelas bahkan
berbenturan dengan perangkat daerah yang lain sehingga istilah gemuknya
birokrasi melekat pada pemerintahan kita utamanya di tingkat pemerintah daerah.
Semakin banyaknya perangkat daerah tentunya akan berpengaruh kepada semakin
banyaknya biaya yang harus disisipkan dalam APBD untuk operasional tiap
perangkat daerah. Hal yang demikian tidak menjamin kinerja pelayanan masyarakat
yang optimal.
Sebagai tindak lanjut atas pemberian pelayanan tersebut
diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah yang mengatur tentang susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi
perangkat daerah. Pada tingkat pemerintah daerah peraturan ini ditindaklanjuti
dengan peraturan daerah di masing-masing daerah. Pada pemerintah daerah Kota
Makassar PP 41 Tahun 2007 ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kota Makassar
Nomor. 3 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah
Kota Makassar.
Keluarnya perda tersebut membawa perubahan struktur serta
tugas pokok dan fungsi yang dimiliki oleh Pemerintah Kecamatan Tamalanrea Kota
Makassar. dimana terbentuk sub bagian
yang baru dalam struktur organisasi kecamatan yang mempunyai tugas pokok dan
fungsi yang berbeda dari semula. Semula sekretaris camat kini menjadi
sekretariat yang membawahi sub bagian umum dan kepegawaian dan sub bagian
keuangan dan perlengkapan yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang baru, serta
penambahan pegawai baru untuk mengisi jabatan tersebut. Hal ini sebagai tindak
lanjut dari Perda No. 3 Tahun 2009 setelah penerapan PP No. 41 Tahun 2007.
Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, penulis merasa
tertarik untuk meneliti lebih lanjut perubahan tersebut. Terutama mengenai kualitas
pelayanan publik pada Kantor Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar dengan memilih judul
yaitu: “Perbandingan Proses dan Kualitas Pelayanan Publik Sebelum dan Sesudah
Penerapan PP No. 41 Tahun 2007 di Kantor Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar”.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini