Indonesia sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan panjang
garis pantai 81.000 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang
sangat besar (Bengen, 2001). Luas wilayah perairan Indonesia se-besar 5,8 juta
km2 yang terdiri dari 3,1 juta km2 Perairan Nusantara dan
2,7 km2 Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) atau 70
persen dari luas total Indonesia. Besarnya potensi sumberdaya kelautan Indonesia tersebut, potensi sumberdaya ikan laut di seluruh
perairan Indonesia (tidak termasuk ikan hias) diduga sebesar 6,26 juta
ton per tahun, tercermin dengan besarnya keanekaragaman hayati, selain potensi
budidaya perikanan pantai di laut serta pariwisata bahari (Budiharsono S.,
2001). Di lain sisi, jumlah penduduk yang meningkat
cepat beserta intensitas pembangunannya, sumber daya alam di daratan sudah mulai menipis dan dengan kenyataan bahwa 60 %
dari penduduk Indonesia (kira-kira 185 juta jiwa) yang dianggap tinggal di
daerah pesisir, tidaklah mengherankan bahwa lingkungan pesisir dan laut menjadi
pusat pemanfaatan sekaligus pengrusakan yang tingkatnya sudah cukup parah untuk
beberapa daerah tertentu (Anonimous, 1996).
Sebagai negara yang terdiri atas kepulauan terbesar di dunia, pastinya
pelayanan oleh pemerintah pusat terhadap seluruh wilayah yang ada di Indonesia
sangat memiliki banyak kendala, yang berefek kepada disintegrasi bangsa,
kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat,
dan minimnya pembangunan sumber daya manusia (SDM), dan lambannya angka
kesejahteraan masyarakat. Maka dengan itu, untuk mentaktisi seperti yang
disebutkan di atas, maka pemerintah pusat mengambil sebuah kebijakan yang
dikenal dengan Otonomi Daerah.
Dalam
otonomi daerah yang terdiri atas UU no 32 tahun 2004, tentang pemerintahan
daerah dan UU No. 25 tahun 1999, tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah,
bahwa daerah diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus daerahnya
masing-masing sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh daerah untuk
dikembangkan, sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Untuk itu, pemerintah
daerah diharapkan memiliki kemampuan mengidentifikasi dan mengelola
potensi-potensi yang ada di daerahnya, untuk dimanfaatkan secara efektif dan
efisien guna terselenggaranya aktifitas pembangunan dalam rangka peningkatan
kualitas hidup masyarakat dan daerahnya. Dengan demikian pemerintah daerah
berkewajiban secara konsisten mengelola potensi-potensi yang bisa dikembangkan,
salah satunya adalah pengembangan dan pengelolaan sektor pariwisata, yang
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, bangsa dan Negara.
Sejalan
dengan hal di atas, dalam ketetapan MPR
No. IV. Tahun 1999 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) (1999:23) menetapkan bahwa :
“Pengembangan pariwisata melalui pendekatan sistem yang utuh dan terpadu
bersifat interdisiplin dan partisipator dengan menggunakan kriteria ekonomis, tekhnis, agronomis, social budaya,
hemat energy, melestarikan alam dan tidak merusak lingkungan”
Jadi pengembangan pariwisata pada hakikatnya merupakan
bagian dari upaya pembangunan nasional untuk mewujudkan kesejahteraan lahir
maupun batin bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga kekayaan wilayah nusantara sebagai modal dan landasan
pengembangan budaya bangsa secara keseluruhan dapat dinikamati oleh masyarakat.
Kepariwisataan merupakan salah satu
komoditi ekspor non migas yang cukup potensial, yang mampu mendatangkan devisa
yang cukup besar bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, diperlukan
suatu konsentrasi penuh dari pemerintah pusat, guna mendukung pembiayaan pembangunan daerah, terutama didaerah yang memiliki potensi pariwisata, sehingga dapat dikelola semaksimal mungkin. Dengan demikian, sektor kepariwisataan merupakan salah satu usaha yang
dapat meningkatkan pendapatan suatu daerah terutama dalam rangka menunjang penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan. Untuk merealisasikan
semua itu, maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan dalam bidang kepariwisataan, seperti yang tercantum di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 1999 (1999:23) yang menyebutkan bahwa
:
“Menjadikan
kesenian dan kebudayaan nasional Indonesia sebagai
wahana bagi pengembangan pariwisata nasional dan mempromosikannya ke luar
negeri secara konsisten sehingga dapat menjadi wahana persahabatan antara
bangsa”
Dengan adanya berbagai kebijakan yang
mendukung dunia kepariwisataan, maka tentunya akan memberikan peluang yang
sangat besar untuk mengembangkan dunia kepariwisataan di Indonesia, khusunya bagi daerah yang memiliki sejumlah potensi
wisata, baik wisata alam maupun wisata budaya.
Dalam
upaya pencapaian tujuan pembangunan nasional tersebut, maka dalam pelaksanaannya pemerintah Kabupaten Halmahera Barat melakukan
pemanfaatan potensi wilayah yang berbasis masyarakat, serta memberikan
perlindungan kelestarian sumber hayati kepariwisataan. Sehingga tujuan
pembangunan dapat menciptakan lapangan kerja produktifitas serta mempertahankan
sumber daya alam dalam lingkup wilayah Kabupaten Halmahera Barat.
Namun dalam upaya pemanfaatan potensi,
terkadang muncul permasalahan yang berakar dari adanya kesenjangan kondisi
lingkungan dan sistem sosial. Oleh karena itu, pemerintah daerah sebagai perencana, pelaksanan,
dan pengontrol dalam sebuah kebijakan daerah
diharapkan mampu menganalisis dan memetakan
permasalahan yang terjadi dalam masyarakat sehingga dalam mengeluarkan
kebijakannya tidak terkesan sepihak, akan tetapi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan
umum UU Nomor: 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, bahwa tujuan
utama penyelenggaraan otonomi daerah yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan berupa
pemberian pedoman, dalam hal penelitian,
pengembangan, perencanaan dan pengawasan.
Untuk itu pemerintah pusat wajib memberikan fasilitas berupa pemberian
kemudahan, bantuan dan dorongan kepada pemerintah daerah
agar dapat melaksanakan otonomi daerah secara efisien dan efektif sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Selain itu, otonomi
daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, diluar yang menjadi urusan
pemerintah
pusat yang ditetapkan dalam
undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi
pelayanan, peningkatan serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya otonomi daerah, sangat diharapkan daerah mampu memainkan
peranannya dalam membuka peluang memajukan daerahnya dengan melakukan
identifikasi dan mengelola sumber-sumber yang berpotensi untuk dapat
meningkatkan pendapatan asli daerah, karena besar kecilnya pendapat daerah sangat
berefek kepada keberhasilan pelaksanaan otonomi tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan konsep otonomi dan
desentralisasi yang pada hakekatnya memberikan kekuasaan, kewenangan dan
keleluasaan kepada pemerintah daerah
Berdasarkan UU Nomor:
33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, bahwa sumber-sumber penerimaan dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi terdiri dari PAD (Pendapatan Asli Daerah),
Dana Perimbangan, dan lain-lain penerimaan yang sah dan juga tentang hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainya
yang harus dilaksanakan secara adil dan selaras. Maka salah satu sektor yang
potensial adalah pariwisata, yang kiranya dapat menjadi aset bagi peningkatan
pendapatan daerah, yang berujung kepada keberhasilan pemerintah daerah merealisasikan
otonomi daerah, yang ditandai dengan terciptanya kesejahteraan yang merata
didalam masyarakat.
Pengembangan sektor
pariwisata merupakan suatu tindakan yang realistis dan logis, mengingat dampak
positif yang ditimbulkan diantaranya semakin meluasnya kesempatan usaha, baik
hotel, biro perjalanan, toko cinderamata serta meningkatnya pendapat masyarakat
dan mendorong terpeliharanya keamanan dan ketertiban walaupun sebenarnya “juga”
ada hal-hal yang berdampak negatif.
Beberapa kebijakan
pemerintah dalam sektor pariwisata diantaranya Pembinaan dan Pengembangan
Kepariwisataan seperti: menggencarkan promosi pariwisata, meyiapkan dan
meningkatkan mutu pelayan dan mutu produk wisata, mengembangkan kawasan-kawasan
pariwisata dan produk-produk baru terutama di wilayah timur Indonesia,
meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di bidang kepariwisataan dan
melaksanakan kampanye nasional yang berkesinambungan ( Hari Karyono ; 1997 ; 90
).
Sejalan dengan yang dijelaskan di atas, Kabupaten Halmahera Barat, Prov, Maluku Utara, sebagai salah satu Kabupaten yang memilki beragam obyek wisata yang kaya dan berpotensi bagi pengembangan
pariwisata, namun dengan berbagai keterbatasan maka pengembangan pariwisatanya berjalan kurang baik. Selain memiliki obyek wisata
pantai, ada terdapat obyek-obyek wisata lainnya dan untuk saat ini Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Halmahera Barat (MMC 10/12/2003) secara bertahap berusaha mengembangkan obyek wisata di Kepulauan Halmahera Barat dengan memberikan berbagai sarana-sarana penunjang
agar dapat menarik jumlah kunjungan wisata baik dari dalam maupun luar negeri.
Kawasan wisata di Kabupaten Halmahera
Barat di anggap sangatlah cukup
potensial dan belum mendapat ekspos secara penuh. Menurut Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Barat, potensi wisata
yang ada di Kab. Halmahera Barat (HALBAR) sangat memiliki daya tarik tinggi,
karena menjadi obyek wisata yang sangat di minati oleh masyarakat daerah
setempat maupun masyarakat dari daerah lain, untuk itu sangat penting untuk
dilakukan studi bagi kemungkinan pengembangannya.
Pemerintah Daerah Halmahera Barat secara umum masih memiliki hambatan dan keterbatasan
dalam pelaksanaan pengelolaan dan- pengembangan pariwisatanya seperti:
1.
Panorama Alam, Puncak Gunung Gamkonora Kecamatan Ibu
2.
Sumber Air Panas di Kecamatan Jailolo
3.
Air terjun Goal dan Talaga Rano di Kecamatan Sahu.
4.
Air Terjun Tetala di Kecamatan Loloda.
5. Panorama Pantai Idam
Dahe di Kecamatan Sahu.
6.
Pulau Tahofa dan Pulau Dodengo di Kecamatan Ibu.
7.
Panorama
8.
Pantai Disa di Kec. Sahu
Sealin itu, di Kabupaten Halmahera Barat terdapat pula obyek wisata flora dan fauna seperti :
Burung Bidadari, Burung Maleo, Burung Nuri dan Burung Kaka Tua dan beragam
obyek wisata budaya yang diperagakan diantaranya : Rumah Adat, Tari-Tarian
Daerah, Misalnya tari Kabata, Tari Moro-Moro, Tari Taula Hulo, Tarian Legu dan
Salai.
Melihat banyaknya potensi pariwisata yang terdapat di Kab. Halmahera Barat
(HALBAR), Prov. Maluku Utara, seperti yang digambarkan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Halmahera Barat. Khususnya Pantai Disa, di Kec. Sahu.
Berdasarkan
penjelasan yang ada, penulis melihat bahwa hal tersebut merupakan suatu bahan
yang menarik untuk di angkat menjadi bahan penelitian dengan judul :
“Peranan Pemerintah Daerah dalam Pemberdayaan
Masyarakat (Studi Kasus:
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata Panorama Pantai Disa,
di Kec. Sahu, Kabupaten
Halmahera Barat)”
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini