BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah kependudukan merupakan salah satu sumber masalah sosial
yang penting, karena pertambahan penduduk dapat menjadi
penghambat dalam
pelaksanaan pembangunan,
apalagi jika pertambahannya tersebut
tidak terkontrol secara efektif. Akibat pertambahan penduduk biasanya ditandai oleh kondisi yang serba
tidak merata, terutama mengenai sumber-sumber penghidupan masyarakat yang semakin terbatas. Pertambahan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh tingkat kelahiran yang tinggi di
bandingkan dengan tingkat
kematian yang rendah, dan juga
peluang kerja yang sangat kecil sebagai
akibat dari perubahan era globalisasi menuju era pasar bebas yang menuntut setiap individu untuk memperjuangkan hidupnya.
Kota Semarang, adalah salah satu kota besar di Indonesia, Ibukota Propinsi Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial
dan budaya. Seperti halnya
kota-kota
lain yang
sedang berkembang di seluruh dunia, Semarang
juga
merasakan
fenomena yang serupa. Perkembangan pesat,
seperti berdirinya kantor-kantor, pusat
perbelanjaan, sarana
perhubungan,
pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tak pelak mendorong para urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang mempunyai bekal
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka mampu bertahan di kota ini. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang belum beruntung bukan tidak
mungkin pula mereka menyambung hidupnya dengan menjadi gelandangan
atau pengemis.
Menurut Justin M. Sihombing
(2005:79).
munculnya
gelandangan
secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi
yang menimbulkan dampak
berupa terasingnya sebagian kelompok
masyarakat dari sistem
kehidupan
ekonomi. Kaum gelandangan membentuk
sendiri sistem kehidupan
baru yang kelihatannya berbeda
dari sistem kehidupan ekonomi kapitalistis. Munculnya kaum gelandangan ini diakibatkan oleh pesatnya perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi.
Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan
fenomena sosial yang tidak bisa dihindari keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan (kota-kota
besar). Salah satu faktor
yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan.
Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif
terhadap meningkatnya
arus urbanisasi
dari daerah pedesaan
ke kota-kota
besar,
sehingga
terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukiman para urban tersebut. Sulit dan terbatasnya lapangan
pekerjaan yang tersedia, serta terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah
untuk mempertahankan
hidup
dengan
terpaksa
menjadi gelandangan atau pengemis.
Jumlah gelandangan dari tahun ke tahun semakin meningkat, terlebih sejak krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia
tahun 1997. Berdasarkan data dari pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin
Kesos) Departemen Sosial RI tahun 2000, diluar propinsi
Maluku dan Nanggroe
Aceh Darussalam populasi gelandangan dan pengemis seluruh Indonesia
berjumlah 72.646 orang.
Kemudian tahun
2002
mengalami peningkatan sehingga populasinya menjadi
85.294 orang (Dirjen
Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna Sosial Departemen Sosial
RI 2005). Sedangkan rekapitulasi Bagian Sosial Kota Semarang tahun 2003 ada sekitar
218 orang gelandangan. Sampai tahun
2006, jumlah tersebut mengalami
penurunan, yaitu ada 197 orang gelandangan. Jumlah itu termasuk mereka yang bekerja sebagai
pengemis, pemulung, dan pengamen.
Gelandangan merupakan sekelompok masyarakat yang terasing, karena mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan
yang tidak lazim, seperti
di kolong jembatan, di sepanjang lorong-lorong sempit, di sekitar rel kereta api ataupun di setiap emper-emper toko, dan dalam hidupnya
sendiri mereka ini
akan terlihat sangat berbeda dengan manusia merdeka lainnya (Sastraatmadja,1987:23).
Peran pemerintah
dalam
menangani
masalah sosial gelandangan sangat penting,
sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 27 Ayat (2) dan
Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Amandemen keempat. Pasal
27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 Amandemen
keempat berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Pasal
ini
memberikan pengertian bahwa pemerintah berkewajiban
untuk memberantas
pengangguran dan harus mengusahakan supaya
setiap warga negara dapat memperoleh
pekerjaan dengan upah yang layak untuk hidup. Sedangkan Pasal 34
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat yang berbunyi
: “Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara”. Pasal
tersebut memberikan pengertian pula bahwa
tujuan
negara
sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah negara
tidak dapat
melepaskan tanggung jawabnya untuk
memelihara fakir
miskin dan anak-anak terlantar.
Sampai saat ini gelandangan dianggap sebagai
perbuatan pidana. Hal ini
tercerminkan dari bunyi
Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sebagai berikut :
- Ayat (1) Barang siapa bergelandangan tanpa mata pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan kurungan paling lama tiga bulan.
- Ayat (2) Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama enam bulan.
Pasal di
atas
jelas
menganggap gelandangan sebagai suatu tindakan
yang
melanggar hukum. Akan tetapi
pemerintah tidak dapat menyikapi
masalah sosial gelandangan itu hanya
dengan memberikan
hukuman karena masalah sosial gelandangan
merupakan tanggung
jawab
pemerintah, sesuai yang diamanatkan
Pasal 27 ayat (2) dan 34 ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, perlu
adanya campur
tangan Pemerintah,
khususnya Pemerintah Kota Semarang untuk menanggulangi
masalah gelandangan di kotanya.
Salah satunya dapat dilakukan dengan cara merumuskan kebijakan untuk menanggulangi masalah
gelandangan tersebut. Karena semua masalah yang timbul merupakan agenda tetap pemerintah untuk mendapatkan penyelesaiannya dengan menuangkannya
melalui kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah.
Masyarakat dalam menghadapi
perubahan sosial ekonomi yang serba cepat, mengarahkan perhatian kita bukan
lagi
pada
seputar
penggarapan
hukum sebagai suatu sistem
peraturan yang logis
dan konsisten, akan tetapi
hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan
sosial. Hukum bukan lagi
sebagai perekam kebiasaan-kebiasaan yang telah membentuk di dalam
bidang- bidang kehidupan masyarakat, melainkan hukum diharapkan pula untuk dapat menjadi
pengungkap
yang
tepat
dari kekuatan-kekuatan baru yang timbul yang
hendak
membentuk masyarakat
menurut tuntutan keadaan
serta pandangan-pandangan baru (Bambang Sunggono, 1994:1-2).
Kesadaran yang menyebabkan bahwa hukum
merupakan instrumen
atau alat untuk mewujudkan
tujuan-tujuan tertentu, menjadikan hukum sebagai sarana yang sadar dan efektif
untuk mengatur masyarakat melalui peraturan-peraturan hukum yang
dibuat dengan sengaja.
Hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan
sosial itu sendiri,
yaitu hukum akan melayani kebutuhan anggota masyarakat, baik berupa pengalokasian kekuasaan, pendistribusian sumber-sumber daya, serta melindungi
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat itu sendiri.
Oleh karena
itu,
hukum semakin
penting
peranannya
sebagai
sarana
untuk
mewujudkan
kebijakan-kebijakan pemerintah (Bambang
Sunggono, 1994:3).
Hukum dalam perkembangannya
tidak hanya dipergunakan untuk mengatur perilaku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada, melainkan
lebih dari itu, hukum menjurus
penggunaannya sebagai suatu sarana. Hukum adalah norma yang
mengarahkan masyarakat untuk mencapai cita-cita keadaan tertentu dengan
tidak mengabaikan kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu, hukum terutama dibuat
dengan penuh
kesadaran oleh negara
dan digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Bambang
Sunggono, 1994:76).
Hukum mempunyai hubungan yang erat dengan
kebijakan.
Hukum
merupakan serangkaian alat untuk merealisasi kebijakan pemerintah. Seidman dalam Bambang Sunggono (1994:77), menyatakan bahwa pembuat kebijakan hanya mempunyai satu alat yang dapat ia pakai untuk mempengaruhi aktivitas pemegang peran, ialah peraturan-peraturan yang ia buat. Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah
dan sebagai peraturan
perundang-undangan telah membuktikan bahwa ia merupakan
salah satu alat untuk melaksanakan kebijakan.
Kebijakan
Pemerintah Kota Semarang untuk
menangani gelandangan sendiri juga dibuat
berdasarkan pada peraturan perundang-undangaan yang
telah ada sebelumnya. Yaitu Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan gelandangan antara lain; UU No. 6 Tahun 1974 tentang
Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang
Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.
Beberapa
peraturan perundangan tersebut
diatas merupakan kebijakan
publik (public policy) atau
yang
sering
disebut
kebijakan
negara,
karena
kebijakan itu dibuat negara. Bila dikaitkan dengan tujuan kebijakan, maka
yang hendak
dicapai
adalah
untuk mewujudkan
kehidupan
yang sejahtera
untuk kaum marginal di Indonesia.
Dalam bentuknya yang positif,
kebijakan
publik
didasarkan
pada
undang-undang dan bersifat
otoritatif. Sifat kebijakan
bisa diperinci menjadi beberapa kategori yakni tuntutan-tuntutan kebijakan
(policy demands), keputusan-keputusan
kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan
kebijakan (policy statements), hasil-hasil
kebijakan (policy
outputs), dan dampak-dampak
kebijakan (policy outcomes) (Budi Winarno, 2002:19).
Kebijakan
negara yang dibuat
para legislator pusat
seperti undang- undang berlaku secara nasional
dan
terkadang
dalam
implementasinya
di
daerah akan dijalankan
sesuai dengan kondisi
daerah itu. Sebagai
contoh, suatu Pemerintah Propinsi membuat aturan yang berlaku untuk daerahnya saja (Peraturan Daerah). Peraturan
Daerah memang penting, dibuat
untuk mengatur daerahnya, termasuk untuk mengatur
masalah-masalah sosial seperti
pemukiman kumuh, pengemis dan gelandangan, urbanisasi, pengangguran dan mungkin masalah anak jalanan dan anak terlantar.
Dari beberapa sifat
kebijakan
publik diatas
adalah jelas
bahwa
sebenarnya kebijakan itu
tidak hanya dirumuskan lalu
dibuat dalam suatu bentuk positif seperti undang-undang dan
kemudian didiamkan dan tidak dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah
kebijakan publik
harus
dilaksanakan atau diimplementasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan dan kemudian
dievaluasi pelaksanaannya.
Berdasarkan uraian diatas, maka
penulis mengambil
judul skripsi : “Implementasi
Kebijakan Pemerintah
Kota Semarang Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Gelandangan Di
Kota
Semarang ”, dengan alasan sebagai
berikut :
- Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan dan penerapan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Semarang dalam menangani masalah sosial gelandangan, mengingat Pemerintah Kota Semarang yang sering mengadakan penertiban, razia, garukan atau apapun istilahnya, yang menakutkan bagi gelandangan dan kaum marginal lain.
- Maraknya gelandangan di suatu wilayah menimbulkan ketidakteraturan sosial yang ditandai dengan ketidaktertiban serta mengurangi ketidaknyamanan masyarakat di sekitarnya sehingga mengganggu keindahan kota.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (BUKAN pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini