Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Gelandangan Di Kota Semarang (203)

BAB I 
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah

Masalah kependudukan merupakan salah satu sumber masalah sosial yang  penting, karena pertambahan  penduduk  dapat  menjadi  penghambat dalam pelaksanaan pembangunan, apalagi jika pertambahannya tersebut tidak terkontrol secara efektif. Akibat pertambahan penduduk biasanya ditandai oleh kondisi yang      serba tidak merata,  terutama       mengenai sumber-sumber penghidupan masyarakat  yang     semakin terbatas.  Pertambahan  jumlah penduduk tersebut disebabkan  oleh tingkat kelahiran  yang  tinggi   di bandingkan dengan tingkat kematian yang rendah, dan juga  peluang kerja yang sangat kecil sebagai akibat dari perubahan era globalisasi menuju era pasar bebas yang menuntut setiap individu untuk memperjuangkan hidupnya.

Kota Semarang, adalah salah satu kota besar di Indonesia, Ibukota Propinsi  Jawa Tengah, pusat segala aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Seperti  halnya  kota-kota  lain yang  sedang berkembang  di  seluruh  dunia, Semarang  juga  merasakan   fenomena  yang serupa.  Perkembangan pesat, seperti  berdirinya  kantor-kantor,  pusat  perbelanjaan, sarana  perhubungan, pabrik, sarana hiburan dan sebagainya tak pelak mendorong para urban untuk mengadu nasib. Bagi mereka yang mempunyai bekal ilmu  pengetahuan dan keterampilan yang cukup bukan tidak mungkin mereka mampu bertahan  di kota ini. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang belum beruntung bukan tidak mungkin pula mereka menyambung hidupnya dengan menjadi gelandangan atau pengemis.

Menurut  Justin  M.  Sihombing  (2005:79).  munculnya  gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang menimbulkan dampak berupa  terasingnya  sebagian kelompok  masyarakat dari  sistem  kehidupan ekonomi. Kaum gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang kelihatannya berbeda dari sistem kehidupan ekonomi kapitalistis. Munculnya kaum gelandangan ini diakibatkan oleh pesatnya  perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju urbanisasi.

Masalah sosial gelandangan dan pengemis merupakan fenomena sosial yang  tidak  bisa  dihindari keberadaannya  dalam  kehidupan  masyarakat, terutama yang berada di daerah perkotaan (kota-kota besar). Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap meningkatnya arus  urbanisasi  dari daerah pedesaan  ke kota-kota  besar,  sehingga  terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kumuh yang menjadi pemukiman para urban tersebut. Sulit dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia, serta terbatasnya pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari   nafkah   untuk mempertahankan  hidup  dengan  terpaksa  menjadi gelandangan atau pengemis.

Jumlah gelandangan dari tahun ke tahun semakin meningkat, terlebih sejak krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia tahun 1997. Berdasarkan data dari pusat Data dan  Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin Kesos) Departemen Sosial RI tahun 2000, diluar propinsi Maluku dan Nanggroe Aceh Darussalam populasi gelandangan dan pengemis seluruh Indonesia berjumlah 72.646  orang.  Kemudian tahun  2002  mengalami peningkatan sehingga populasinya  menjadi 85.294 orang (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Tuna Sosial Departemen Sosial  RI 2005). Sedangkan rekapitulasi Bagian Sosial Kota Semarang tahun 2003 ada sekitar 218 orang gelandangan. Sampai tahun 2006,   jumlah  tersebut            mengalami penurunan,   yaitu     ada       197      orang gelandangan. Jumlah itu termasuk mereka yang bekerja sebagai pengemis, pemulung, dan pengamen.

Gelandangan merupakan sekelompok masyarakat yang terasing, karena mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan yang tidak lazim, seperti di kolong jembatan, di sepanjang lorong-lorong sempit, di sekitar rel kereta api ataupun di setiap emper-emper toko, dan dalam hidupnya sendiri mereka ini akan terlihat sangat berbeda dengan manusia merdeka lainnya (Sastraatmadja,1987:23).

Peran  pemerintah  dalam  menangani  masalah  sosial  gelandangan sangat penting, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen keempat. Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen  keempat  berbunyi  : “Tiap-tiap  warga  negara  berhak  atas pekerjaan  dan   penghidupan  yang  layak    bagi kemanusiaan”.  Pasal  ini memberikan pengertian bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberantas pengangguran  dan  harus  mengusahakan  supaya  setiap  warga  negara  dapat memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak untuk hidup. Sedangkan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat yang berbunyi : “Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara”. Pasal tersebut memberikan  pengertian  pula bahwa  tujuan  negara  sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah negara tidak   dapat melepaskan tanggung  jawabnya untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Sampai saat ini gelandangan dianggap sebagai perbuatan pidana. Hal ini tercerminkan dari bunyi Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai berikut :
  •   Ayat (1)    Barang  siapa  bergelandangan  tanpa  mata  pencaharian,  diancam karena  melakukan pergelandangan dengan kurungan paling lama tiga bulan. 
  • Ayat  (2)  Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya  di  atas  enam  belas  tahun,  diancam  dengan  kurungan paling lama enam bulan.

Pasal di  atas  jelas  menganggap  gelandangan  sebagai  suatu  tindakan  yang melanggar hukum. Akan tetapi pemerintah tidak dapat menyikapi masalah sosial gelandangan itu hanya dengan memberikan hukuman karena masalah sosial  gelandangan  merupakan  tanggung  jawab  pemerintah,  sesuai  yang diamanatkan Pasal 27 ayat (2) dan 34 ayat (1) UUD 1945. Untuk itu, perlu adanya  campur  tangan Pemerintah,  khususnya  Pemerintah Kota  Semarang untuk menanggulangi masalah gelandangan di kotanya. Salah satunya dapat dilakukan dengan cara merumuskan kebijakan untuk menanggulangi masalah gelandangan tersebut. Karena semua masalah yang timbul merupakan agenda tetap pemerintah untuk mendapatkan penyelesaiannya dengan menuangkannya melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Masyarakat dalam menghadapi perubahan sosial ekonomi yang serba cepat, mengarahkan perhatian  kita  bukan  lagi  pada  seputar  penggarapan hukum sebagai suatu  sistem peraturan yang logis dan konsisten, akan tetapi hukum lebih dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial. Hukum bukan lagi sebagai perekam kebiasaan-kebiasaan yang telah membentuk di dalam bidang- bidang kehidupan masyarakat, melainkan hukum diharapkan pula untuk dapat menjadi  pengungkap  yang  tepat  dari kekuatan-kekuatan  baru yang  timbul yang   hendak   membentuk   masyarakat   menurut   tuntutan  keadaan   serta pandangan-pandangan baru (Bambang Sunggono, 1994:1-2).

Kesadaran yang  menyebabkan  bahwa  hukum  merupakan  instrumen atau  alat  untuk mewujudkan  tujuan-tujuan  tertentu,  menjadikan  hukum sebagai sarana yang  sadar dan efektif untuk mengatur masyarakat melalui peraturan-peraturan hukum yang  dibuat dengan sengaja. Hukum merupakan suatu kebutuhan  yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri, yaitu hukum akan  melayani kebutuhan  anggota  masyarakat,  baik  berupa pengalokasian kekuasaan,  pendistribusian       sumber-sumber       daya,     serta     melindungi kepentingan-kepentingan  anggota  masyarakat  itu sendiri.  Oleh karena  itu, hukum  semakin  penting  peranannya  sebagai  sarana  untuk  mewujudkan kebijakan-kebijakan pemerintah  (Bambang Sunggono, 1994:3).

Hukum  dalam  perkembangannya  tidak  hanya  dipergunakan  untuk mengatur perilaku yang sudah ada dalam masyarakat dan mempertahankan pola-pola kebiasaan yang telah ada, melainkan lebih dari itu, hukum menjurus penggunaannya sebagai     suatu sarana. Hukum   adalah     norma     yang mengarahkan masyarakat untuk  mencapai cita-cita keadaan tertentu dengan tidak mengabaikan kenyataan di masyarakat. Oleh karena itu, hukum terutama dibuat dengan  penuh kesadaran oleh negara dan digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Bambang Sunggono, 1994:76).

Hukum mempunyai  hubungan  yang  erat  dengan  kebijakan.  Hukum merupakan serangkaian alat untuk merealisasi kebijakan pemerintah. Seidman dalam Bambang Sunggono (1994:77), menyatakan bahwa pembuat kebijakan hanya mempunyai satu alat yang dapat ia pakai untuk mempengaruhi aktivitas pemegang peran, ialah peraturan-peraturan yang ia buat. Hukum memberikan legitimasi  bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah  dan   sebagai  peraturan perundang-undangan telah membuktikan bahwa ia merupakan salah satu alat untuk melaksanakan kebijakan.

Kebijakan Pemerintah Kota Semarang untuk menangani gelandangan sendiri juga dibuat berdasarkan pada peraturan perundang-undangaan yang telah ada sebelumnya. Yaitu Peraturan perundang-undangan   yang berkaitan dengan kesejahteraan gelandangan antara lain; UU No. 6 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis.

Beberapa peraturan perundangan tersebut diatas merupakan kebijakan publik (public policy) atau  yang  sering  disebut  kebijakan  negara,  karena kebijakan itu dibuat  negara. Bila dikaitkan dengan tujuan kebijakan, maka yang  hendak  dicapai  adalah  untuk mewujudkan  kehidupan  yang sejahtera untuk kaum marginal di Indonesia.

Dalam  bentuknya  yang  positif,  kebijakan  publik  didasarkan  pada undang-undang dan bersifat otoritatif. Sifat kebijakan bisa diperinci menjadi beberapa  kategori   yakni  tuntutan-tuntutan  kebijakan   (policy   demands), keputusan-keputusan   kebijakan   (policy  decisions) pernyataan-pernyataan kebijakan  (policy  statements),  hasil-hasil  kebijakan (policy  outputs),  dan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) (Budi Winarno, 2002:19).

Kebijakan negara yang dibuat para legislator pusat seperti undang- undang berlaku secara nasional  dan  terkadang  dalam  implementasinya  di daerah  akan  dijalankan  sesuai  dengan  kondisi  daerah  itu.  Sebagai  contoh, suatu Pemerintah Propinsi membuat aturan yang berlaku untuk daerahnya saja (Peraturan   Daerah).   Peraturan   Daerah  memang   penting,   dibuat   untuk mengatur daerahnya, termasuk untuk mengatur masalah-masalah sosial seperti pemukiman kumuh, pengemis dan gelandangan, urbanisasi, pengangguran dan mungkin masalah anak jalanan dan anak terlantar.

Dari  beberapa  sifat  kebijakan  publik  diatas  adalah jelas  bahwa sebenarnya  kebijakan  itu  tidak  hanya dirumuskan  lalu  dibuat  dalam  suatu bentuk  positif  seperti undang-undang dan  kemudian didiamkan  dan  tidak dilaksanakan  atau  diimplmentasikan, tetapi  sebuah  kebijakan publik  harus dilaksanakan atau  diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan dan kemudian dievaluasi pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian  diatas,  maka  penulis  mengambil  judul  skripsi  : “Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Untuk Meningkatkan Kesejahteraan  Gelandangan Di  Kota  Semarang  ”, dengan  alasan  sebagai berikut :
  1. Untuk  mengetahui  sejauh  mana  pelaksanaan  dan  penerapan  kebijakan yang dibuat  oleh Pemerintah Kota Semarang dalam menangani masalah sosial gelandangan,  mengingat Pemerintah Kota Semarang yang sering mengadakan  penertiban,  razia,   garukan  atau  apapun  istilahnya, yang menakutkan bagi gelandangan dan kaum marginal  lain. 
  2. Maraknya gelandangan di suatu wilayah menimbulkan ketidakteraturan sosial yang ditandai dengan      ketidaktertiban  serta     mengurangi ketidaknyamanan   masyarakat    di  sekitarnya        sehingga      mengganggu keindahan kota.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (BUKAN  pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini


Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Cara Seo Blogger