BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini topik mengenai Tanggung Jawab Sosial Korporat atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) semakin banyak di bahas di dunia, baik di media cetak dan elektronik, seminar ataupun konferensi. Perusahaan di dunia juga semakin banyak yang mengklaim bahwa mereka telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Semakin maraknya pembahasan CSR merupakan konsekuensi logis dari implementasi praktek Good Corporate Governance (GCG), yang prinsipnya antara lain menyatakan perlunya perusahaan memperhatikan kepentingan stakeholders-nya sesuai dengan aturan yang ada dan menjalin kerjasama yang aktif dengan stakeholders demi kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan (OECD, 2004)
Menurut Jalal (2007) perkembangan topik CSR di perguruan tinggi di Indonesia juga menunjukkan sebuah peningkatan, walaupun masih berada di tahap awal. Relatif cukup banyak mahasiswa berbagai strata membuat karya tulis
akhir—penelitian, tesis, maupun disertasi—tentang CSR. Berdasarkan data yang
dihimpun oleh situs www.csrindonesia.com kebanyakan dari mereka berasal dari fakultas ilmu sosial serta fakultas ekonomi dari berbagai perguruan tinggi. Kebanyakan di antara mereka tertarik dengan kaitan antara kinerja finansial perusahaan dan kinerja CSR-nya, sebuah hubungan yang kerap dinyatakan sebagai holy grail dalam dunia akademik CSR.
Dalam hal kebijakan pemerintah, perhatian pemerintah terhadap CSR
tertuang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) Nomor 40 Tahun
2007 Bab V Pasal 74. Pasal 74 UU PT menentukan bahwa setiap perseroan yang kegiatan usahanya bergerak di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL). Diuraikan pula bahwa TJSL dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan, dan pelanggaran atas kewajiban tersebut akan dikenai sanksi. Berbeda dengan pewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan yang membutuhkan PP untuk pelaksanaannya, pembuatan laporan langsung berlaku sejak UU disahkan. Jadi, akan banyak sekali laporan CSR yang akan dibuat pada akhir 2008 (Jalal, 2007).
CSR sendiri adalah sebuah pendekatan yang mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis perusahaan dan dalam interaksi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan (Nuryana, 2005). Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate philanthropy), Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relations), dan Pengembangan Masyarakat (Community Development). Keempat nama itu bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Investment/Investing) yang didorong oleh spektrum motif yang terentang dari motif amal hingga pemberdayaan (Briliant dan Rice, 1988 dalam Tanudjaja, 2009)
Menurut Tanudjaja (2009) perbedaan dalam memaknai CSR oleh perusahaan akan menyebabkan perbedaan implementasi CSR antar perusahaan pula, tergantung bagaimana perusahaan tersebut memaknai CSR. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan sistematis dalam partisipasinya meningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya disisi lain, masyarakat juga tidak dapat seenaknya melakukan tuntutan kepada perusahaan, apabila harapannya itu berada diluar batas aturan yang berlaku.
Regulasi terhadap pelaporan CSR dapat berperan penting untuk mendorong perusahaan menghasilkan laporan CSR. Namun, hingga kini di negara-negara maju pun masih menjadi perdebatan apakah perusahaan perlu diwajibkan mempublikasi laporan CSR atau diserahkan pada kesadaran perusahaan untuk mempublikasi laporan tersebut (Tschopp, 2005).
Secara teoritis, tanpa diwajibkan perusahaan akan dengan sendirinya membuat laporan kepada stakeholders karena perusahaan tersebut akan terkena sanksi dari stakeholders bila tidak membuat laporan CSR. Sebagai contoh, jika perusahaan tidak mempublikasi laporan CSR maka para investor akan memberi sanksi dalam bentuk keengganan mereka untuk memiliki saham perusahaan tersebut. Keengganan ini akan menyebabkan harga saham perusahaan tersebut jatuh, yang pada akhirnya akan merugikan perusahaan itu sendiri. Para konsumen dapat memboikot produk perusahaan tersebut dan pemasok tidak menyalurkan bahan baku ke perusahaan tersebut, sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan beroperasi. Sanksi yang berdampak langsung terhadap kinerja perusahaan menyebabkan perusahaan akan mempunyai insentif untuk menghasilkan laporan CSR.
Pelaporan CSR yang sifatnya suka rela dapat tidak terjadi karena belum tentu stakeholders termotivasi memberikan sanksi dan kalaupun ada yang memberi sanksi dampaknya tidak langsung dan tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kondisi ini menjustifikasi diwajibkannya perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan laporan CSR. Justifikasi lain atas perlu diwajibkannya pelaporan CSR adalah, berbeda dengan pemilik modal yang melalui suatu kontrak dapat mewajibkan perusahaan untuk menghasilkan laporan keuangan, stakeholders lain (seperti konsumen, karyawan, publik) tidak mempunyai kekuatan (power) untuk mewajibkan perusahaan menghasilkan laporan CSR (Utama, 2007).
Sementara itu, kelompok yang menolak mengajukan argumen bahwa perusahaan adalah organisasi pencari laba (profit oriented) dan bukan person atau kumpulan orang seperti halnya dalam organisasi sosial. Perusahaan telah membayar pajak kepada negara dan karena itu tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan publik telah diambil-alih pemerintah (Wiwoho,
2009). Penerapan syarat TJSL (ditambah ketentuan sanksi atas pelanggarannya) dalam UUPT dapat menjadi sarana penekan bagi para pemodal yang selama ini tidak menjalankan aktivitas bisnisnya dengan benar. Namun di sisi lain, golongan
pengusaha yang selama ini disiplin menerapkan CSR akan merasa kehilangan nilai kesukarelaan dalam setiap aktivitas CSR mereka.
Robins (2005) juga menekankan bahwa perolehan laba adalah tetap merupakan tujuan utama perusahaan karena tanpa laba, tidak akan ada sumber daya untuk kegiatan CSR. Robins dan juga Hess (2001) dalam Utama (2007) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk mendorong CSR lebih baik dilakukan melalui moral suasion dan tekanan pasar, bukannya dipaksakan melalui regulasi:
To raise business-relevant environmental standards for all through legislation is one thing and is acceptable, but any attempt to impose burdens which are not business relevant, through regulation, is very risky indeed. Such action would be far more than just contentious; it would invite wholly negative social outcomes, including corruption and economic inefficiency (Robins, 2005, p.
112).
Banyak faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR. Pada penelitian yang dilakukan oleh Amran dan Devi (2008) ada enam faktor yang diindikasikan mempengaruhi pengungkapan CSR di Malaysia. Faktor-faktor tersebut adalah foreign shareholder, government shareholding, dependence on government, dependence on foreign partner, industry, size, dan profitability.
Penelitian ini melanjutkan penelitian Amran dan Devi (2008) dengan mengadopsi beberapa faktor dan menambahkan faktor baru. Faktor yang diadopsi adalah faktor kepemilikan saham pemerintah (government shareholding), faktor kepemilikan saham asing (foreign shareholding), tipe industi (industry type), ukuran perusahaan (corporate size) dan profitabilitas (profitability), sedangkan faktor baru yang dimasukkan adalah regulasi pemerintah (government regulation).
Di Indonesia, belum lama ini Bapepam LK mengeluarkan keputusan No.
134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan
Perusahaan Publik. Dibanding aturan yang lama (SK Bapepam No. 38/PM/1996) jumlah informasi yang wajib diungkapkan, khususnya yang terkait dengan praktek Corporate Governance, jauh lebih banyak. Pada tahun 2007, DPR juga telah mengesahkan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dalam pasal 74 undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan untuk menguraikan aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Hal ini akan berdampak pada semakin banyaknya informasi operasional perusahaan yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan, termasuk dalam pengungkapan CSR. Oleh karena itu, peneliti memasukkan faktor regulasi pemerintah menjadi variabel penelitian.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh karakteristik perusahaan dan regulasi pemerintah terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada laporan tahunan perusahaan di Indonesia. Political economy theory (PET) akan digunakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel. Menurut Gray, Kouhy dan Lavers (1995) PET mempertimbangkan kerangka politik, sosial dan institusional dimana kegiatan ekonomi tersebut dijalankan. Beberapa studi menunjukkan bahwa luas Pengungkapan Sosial Lingkungan (PSL) dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan meningkat seiring dengan periode dimana isu sosial dan lingkungan dipandang penting baik secara aspek politis maupun aspek sosial (Guthrie dan Parker, 1989). Konsekuensinya, PET kelihatan lebih relevan dalam menjelaskan mengapa perusahaan cenderung merespon setiap tekanan dari pemerintah dan publik agar mengungkapkan informasi tentang dampak sosial dari praktik bisnis perusahaan (Guthrie dan Parker, 1990).
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (BUKAN pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini topik mengenai Tanggung Jawab Sosial Korporat atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR) semakin banyak di bahas di dunia, baik di media cetak dan elektronik, seminar ataupun konferensi. Perusahaan di dunia juga semakin banyak yang mengklaim bahwa mereka telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Semakin maraknya pembahasan CSR merupakan konsekuensi logis dari implementasi praktek Good Corporate Governance (GCG), yang prinsipnya antara lain menyatakan perlunya perusahaan memperhatikan kepentingan stakeholders-nya sesuai dengan aturan yang ada dan menjalin kerjasama yang aktif dengan stakeholders demi kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan (OECD, 2004)
Menurut Jalal (2007) perkembangan topik CSR di perguruan tinggi di Indonesia juga menunjukkan sebuah peningkatan, walaupun masih berada di tahap awal. Relatif cukup banyak mahasiswa berbagai strata membuat karya tulis
akhir—penelitian, tesis, maupun disertasi—tentang CSR. Berdasarkan data yang
dihimpun oleh situs www.csrindonesia.com kebanyakan dari mereka berasal dari fakultas ilmu sosial serta fakultas ekonomi dari berbagai perguruan tinggi. Kebanyakan di antara mereka tertarik dengan kaitan antara kinerja finansial perusahaan dan kinerja CSR-nya, sebuah hubungan yang kerap dinyatakan sebagai holy grail dalam dunia akademik CSR.
Dalam hal kebijakan pemerintah, perhatian pemerintah terhadap CSR
tertuang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) Nomor 40 Tahun
2007 Bab V Pasal 74. Pasal 74 UU PT menentukan bahwa setiap perseroan yang kegiatan usahanya bergerak di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL). Diuraikan pula bahwa TJSL dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan, dan pelanggaran atas kewajiban tersebut akan dikenai sanksi. Berbeda dengan pewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan yang membutuhkan PP untuk pelaksanaannya, pembuatan laporan langsung berlaku sejak UU disahkan. Jadi, akan banyak sekali laporan CSR yang akan dibuat pada akhir 2008 (Jalal, 2007).
CSR sendiri adalah sebuah pendekatan yang mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis perusahaan dan dalam interaksi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan (Nuryana, 2005). Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan sering diidentikkan dengan CSR ini antara lain Pemberian/Amal Perusahaan (Corporate Giving/Charity), Kedermawanan Perusahaan (Corporate philanthropy), Relasi Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community/Public Relations), dan Pengembangan Masyarakat (Community Development). Keempat nama itu bisa pula dilihat sebagai dimensi atau pendekatan CSR dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Investment/Investing) yang didorong oleh spektrum motif yang terentang dari motif amal hingga pemberdayaan (Briliant dan Rice, 1988 dalam Tanudjaja, 2009)
Menurut Tanudjaja (2009) perbedaan dalam memaknai CSR oleh perusahaan akan menyebabkan perbedaan implementasi CSR antar perusahaan pula, tergantung bagaimana perusahaan tersebut memaknai CSR. Di sinilah letak pentingnya pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang lebih bersifat mandatory. Dengan demikian dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur dan sistematis dalam partisipasinya meningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya disisi lain, masyarakat juga tidak dapat seenaknya melakukan tuntutan kepada perusahaan, apabila harapannya itu berada diluar batas aturan yang berlaku.
Regulasi terhadap pelaporan CSR dapat berperan penting untuk mendorong perusahaan menghasilkan laporan CSR. Namun, hingga kini di negara-negara maju pun masih menjadi perdebatan apakah perusahaan perlu diwajibkan mempublikasi laporan CSR atau diserahkan pada kesadaran perusahaan untuk mempublikasi laporan tersebut (Tschopp, 2005).
Secara teoritis, tanpa diwajibkan perusahaan akan dengan sendirinya membuat laporan kepada stakeholders karena perusahaan tersebut akan terkena sanksi dari stakeholders bila tidak membuat laporan CSR. Sebagai contoh, jika perusahaan tidak mempublikasi laporan CSR maka para investor akan memberi sanksi dalam bentuk keengganan mereka untuk memiliki saham perusahaan tersebut. Keengganan ini akan menyebabkan harga saham perusahaan tersebut jatuh, yang pada akhirnya akan merugikan perusahaan itu sendiri. Para konsumen dapat memboikot produk perusahaan tersebut dan pemasok tidak menyalurkan bahan baku ke perusahaan tersebut, sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan beroperasi. Sanksi yang berdampak langsung terhadap kinerja perusahaan menyebabkan perusahaan akan mempunyai insentif untuk menghasilkan laporan CSR.
Pelaporan CSR yang sifatnya suka rela dapat tidak terjadi karena belum tentu stakeholders termotivasi memberikan sanksi dan kalaupun ada yang memberi sanksi dampaknya tidak langsung dan tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kondisi ini menjustifikasi diwajibkannya perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan laporan CSR. Justifikasi lain atas perlu diwajibkannya pelaporan CSR adalah, berbeda dengan pemilik modal yang melalui suatu kontrak dapat mewajibkan perusahaan untuk menghasilkan laporan keuangan, stakeholders lain (seperti konsumen, karyawan, publik) tidak mempunyai kekuatan (power) untuk mewajibkan perusahaan menghasilkan laporan CSR (Utama, 2007).
Sementara itu, kelompok yang menolak mengajukan argumen bahwa perusahaan adalah organisasi pencari laba (profit oriented) dan bukan person atau kumpulan orang seperti halnya dalam organisasi sosial. Perusahaan telah membayar pajak kepada negara dan karena itu tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan publik telah diambil-alih pemerintah (Wiwoho,
2009). Penerapan syarat TJSL (ditambah ketentuan sanksi atas pelanggarannya) dalam UUPT dapat menjadi sarana penekan bagi para pemodal yang selama ini tidak menjalankan aktivitas bisnisnya dengan benar. Namun di sisi lain, golongan
pengusaha yang selama ini disiplin menerapkan CSR akan merasa kehilangan nilai kesukarelaan dalam setiap aktivitas CSR mereka.
Robins (2005) juga menekankan bahwa perolehan laba adalah tetap merupakan tujuan utama perusahaan karena tanpa laba, tidak akan ada sumber daya untuk kegiatan CSR. Robins dan juga Hess (2001) dalam Utama (2007) lebih lanjut menyatakan bahwa untuk mendorong CSR lebih baik dilakukan melalui moral suasion dan tekanan pasar, bukannya dipaksakan melalui regulasi:
To raise business-relevant environmental standards for all through legislation is one thing and is acceptable, but any attempt to impose burdens which are not business relevant, through regulation, is very risky indeed. Such action would be far more than just contentious; it would invite wholly negative social outcomes, including corruption and economic inefficiency (Robins, 2005, p.
112).
Banyak faktor yang mempengaruhi pengungkapan CSR. Pada penelitian yang dilakukan oleh Amran dan Devi (2008) ada enam faktor yang diindikasikan mempengaruhi pengungkapan CSR di Malaysia. Faktor-faktor tersebut adalah foreign shareholder, government shareholding, dependence on government, dependence on foreign partner, industry, size, dan profitability.
Penelitian ini melanjutkan penelitian Amran dan Devi (2008) dengan mengadopsi beberapa faktor dan menambahkan faktor baru. Faktor yang diadopsi adalah faktor kepemilikan saham pemerintah (government shareholding), faktor kepemilikan saham asing (foreign shareholding), tipe industi (industry type), ukuran perusahaan (corporate size) dan profitabilitas (profitability), sedangkan faktor baru yang dimasukkan adalah regulasi pemerintah (government regulation).
Di Indonesia, belum lama ini Bapepam LK mengeluarkan keputusan No.
134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan
Perusahaan Publik. Dibanding aturan yang lama (SK Bapepam No. 38/PM/1996) jumlah informasi yang wajib diungkapkan, khususnya yang terkait dengan praktek Corporate Governance, jauh lebih banyak. Pada tahun 2007, DPR juga telah mengesahkan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dalam pasal 74 undang-undang tersebut mewajibkan perusahaan untuk menguraikan aktivitas dan biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Hal ini akan berdampak pada semakin banyaknya informasi operasional perusahaan yang harus diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan, termasuk dalam pengungkapan CSR. Oleh karena itu, peneliti memasukkan faktor regulasi pemerintah menjadi variabel penelitian.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh karakteristik perusahaan dan regulasi pemerintah terhadap pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada laporan tahunan perusahaan di Indonesia. Political economy theory (PET) akan digunakan untuk menjelaskan hubungan antar variabel. Menurut Gray, Kouhy dan Lavers (1995) PET mempertimbangkan kerangka politik, sosial dan institusional dimana kegiatan ekonomi tersebut dijalankan. Beberapa studi menunjukkan bahwa luas Pengungkapan Sosial Lingkungan (PSL) dalam laporan tahunan (annual report) perusahaan meningkat seiring dengan periode dimana isu sosial dan lingkungan dipandang penting baik secara aspek politis maupun aspek sosial (Guthrie dan Parker, 1989). Konsekuensinya, PET kelihatan lebih relevan dalam menjelaskan mengapa perusahaan cenderung merespon setiap tekanan dari pemerintah dan publik agar mengungkapkan informasi tentang dampak sosial dari praktik bisnis perusahaan (Guthrie dan Parker, 1990).
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (BUKAN pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini