BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertengahan tahun 1990 sistem keuangan Indonesia masih didominasi oleh sektor perbankan. Komposisi penguasaan pangsa pasar berubah begitu memasuki tahun 1998 menyusul dikeluarkanya kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta nasional nasional pada bulan November 1997 akibat krisis moneter. Namun tindakan pencabutan ijin usaha bank oleh pemerintah tidak berhenti sampai disitu, karena pada tanggal 4 April 1998 pemerintah menghentikan operasi tujuh bank yang kinerjanya kurang baik dan tujuh bank lainnya ditempatkan dibawah pengawasan BPPN (Tarmidzi dan Wilyanto, 2003).
Meski menghadapi tekanan akibat krisis keuangan global yang dampaknya semakin meluas, kinerja perbankan sepanjang tahun 2008 relatif stabil. Meningkatnya fungsi pengawasan dan kerjasama dengan otoritas terkait yang disertai penerbitan beberapa peraturan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah cukup efektif menjaga ketahanan perbankan dari dampak negatif gejolak pasar keuangan tersebut. Perbankan berhasil meningkatkan fungsi intermediasinya dan melaksanakan proses konsolidasi perbankan dengan hasil yang positif (Laporan Pengawasan Perbankan, 2008).
Perbankan memiliki peranan yang sangat strategis dalam menunjang berjalannya roda perekonomian dan pembangunan nasional mengingat fungsinya sebagai lembaga intermediasi, penyelenggara transaksi pembayaran, serta alat transmisi kebijakan moneter. Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 10 Tahun
1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan (Pasal 6 huruf m) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998, praktek perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil dimungkinkan untuk dilakukan di Indonesia. Bank syariah merupakan salah satu lembaga perantara (intermediary) yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil (profit sharing). Perbankan syariah adalah salah satu representasi aplikasi ekonomi Islam yang melarang penggunaan sistem bunga dalam perekonomian, karena sistem tersebut dianggap riba yang dilarang oleh agama. Hal ini disebabkan penerapan sistem ribawi tidak hanya membawa kehancuran ekonomi, tetapi juga kerusakan moral di masyarakat (Antonio, 2001: 77).
Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga melainkan atas dasar prinsip bagi hasil jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam. Prinsip syariat Islam yang dimaksud yaitu bank dalam kegiatan operasionalnya mengikuti ketentuan-ketentuan syariat Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islami misalnya dengan menjauhi praktek-praktek yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan (Siamat, 1999: 124). Diperkenankannya bank melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang telah terlebih dahulu dikenal dalam sistem perbankan Indonesia. Di samping itu pendirian jenis bank bagi hasil tersebut akan dapat memberi pelayanan kepada bagian masyarakat yang karena prinsip agama atau kepercayaan tidak bersedia memanfaatkan jasa- jasa bank konvensional.
Bank syariah karena sifatnya sebagai bank berdasarkan prinsip syariah wajib memposisikan diri sebagai ”uswatun hasanah” dalam implementasi moral dan etika bisnis yang benar atau melaksanakan etika dan moral agama dalam aktivitas ekonomi. Adanya bank Islam diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank Islam. Melalui pembiayaan ini bank Islam dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan bank Islam dengan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan.
Pada era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia merupakan yang paling pesat baik dari segi bertambahnya bank yang menawarkan produk syariah maupun dari segi pertumbuhan asetnya (Karya dan Rakhman, 2006: 209). Dalam kurun waktu terakhir, perbankan syariah mencapai pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 35% per tahun. Hal itu terlihat dari peningkatan aset perbankan syariah menjadi 2,1% dari keseluruhan aset perbankan senilai Rp 50 triliun. Kredit yang disalurkan mencapai Rp 38 triliun dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat) mencapai Rp 326 miliar. Sedangkan pembiayaan dari perbankan syariah naik dari Rp 5 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 27,94 triliun pada tahun 2007, dan Rp 38,19 triliun pada tahun 2008. Berdasarkan prediksi Mc Kinsey tahun 2008, total aset pasar perbankan syariah global pada tahun 2006 mencapai 0,75 miliar dolar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27% per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19% per tahun (Agustianto, 2010).
Perkembangan total asset tahun 2007 ke tahun 2008 tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin besar total aktiva yang merupakan salah satu alat ukuran perusahaan, akan meningkatkan ROA (Return On Assets). Pada tahun 2008 total asset BUS dan UUS (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) meningkat sebesar 13,017 miliar rupiah dari tahun 2007, namun ROA BUS dan UUS menunjukkan penurunan sebesar 0,65%. Begitu pula yang terjadi pada Capital Adequacy Ratio (CAR). Capital Adequacy Ratio (CAR) seharusnya berbanding lurus dengan ROA, dimana apabila semakin tinggi CAR maka akan semakin baik kinerja suatu bank yang dalam hal ini diproksikan dengan ROA. CAR pada tahun 2007 mengalami penurunan dari tahun 2006 sebesar 3,06%, namun ternyata pada tahun 2007 ROA meningkat sebesar 0,52% dari tahun 2006. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2009 dimana CAR turun sebesar 2,04% dari tahun 2008, tetapi ROA cenderung meningkat walaupun peningkatannya hanya sebesar 0,06% dari tahun 2008.
Pembiayaan bermasalah yang diproksi dengan rasio NPF (Non Performing Financing) pada tabel 1.1 di atas juga kurang sesuai dengan teori, dimana semakin tinggi pembiayaan bermasalah (rasio NPF) seharusnya justru akan menurunkan ROA. Seperti pada tahun 2006, rasio NPF mengalami peningkatan dari tahun 2005 sebesar 1,93%, namun ROA mengalami peningkatan sebesar 0,2%. Tahun 2009 juga kembali terjadi ketidaksesuaian dengan teori dimana pada tahun 2009 pembiayaan bermasalah menunjukkan peningkatan sebesar 2,59% dari tahun 2008 yang diikuti dengan peningkatan rasio NPF sebesar 0,06% pada tahun 2009. Rasio likuiditas yang diproksikan dengan FDR (Financing to Deposit Ratio) juga menunjukkan arah yang berbeda dengan perkembangan rasio ROA (Return On Assets). Pada tahun 2008 FDR meningkat sebesar 3,89% dari tahun 2007, tetapi ROA menunjukkan penurunan sebesar
0,65%. Kondisi yang sama juga terjadi pada tahun 2009 dimana FDR mengalami penurunan sebesar 13,95% dari tahun 2008, namun ROA justru mengalami peningkatan sebesar 0,06% dari tahun 2008.
Perkembangan perbankan syariah seperti yang telah diuraikan di atas tidak lepas dari peran pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan sektor perbankan yaitu Paket Deregulasi 27
Oktober 1988 (Pakto 88) yang diperbaharui dengan paket deregulasi 29 Mei 1993. Pakto 88 ini antara lain berisi usaha yang harus dilakukan oleh sektor perbankan dalam peningkatan pengerahan dana masyarakat dengan cara pendirian bank-bank baru atau pembukaan kantor-kantor cabang (Hastuti dan Kussudyarsana, 2007: 2).
Kondisi persaingan antar bank yang begitu ketat dan ancaman likuidasi bagi bank-bank yang bermasalah membuat para bankir harus bekerja lebih keras untuk terus meningkatkan kinerjanya sehingga kesehatan bank dapat dijaga bahkan dipertahankan. Tingkat kesehatan bank merupakan suatu nilai yang harus dipertahankan oleh tiap bank, karena baik buruknya tingkat kesehatan bank akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pihak-pihak yang berhubungan dengan bank yang bersangkutan. Bank juga merupakan sebuah perusahaan, karena itu persoalan likuiditas dan solvabilitas adalah persoalan yang amat penting dan berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat, nasabah juga pemerintah. Oleh karena itu sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan publik terhadap kinerja perbankan.
Perkembangan di dunia perbankan yang sangat pesat serta tingkat kompleksitas yang tinggi, dapat berpengaruh terhadap performa suatu bank. Kompleksitas usaha perbankan yang tinggi dapat meningkatkan risiko yang dihadapi oleh bank-bank yang ada di Indonesia. Lemahnya kondisi bank seperti manajemen yang kurang memadai, pemberian kredit kepada kelompok atau grup usaha sendiri serta modal yang tidak dapat mengcover terhadap risiko-risiko yang dihadapi oleh bank tersebut menyebabkan kinerja bank menurun. Penurunan kinerja bank dapat menurunkan pula kepercayaan masyarakat.
Dalam seminar restrukturisasi perbankan di Jakarta 1998 (Etty M. Naser dan Titik Aryati, 2000: 111) menyimpulkan beberapa penyebab menurunnya kinerja bank, antara lain: (1) Semakin meningkatnya kredit bermasalah perbankan. (2) Dampak likuidasi bank-bank 1 November 1997 yang mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan pemerintah, sehingga memicu penarikan dana secara besar-besaran. (3) Semakin turunnya permodalan bank- bank dan bahkan diantaranya negative net worth, karena adanya kebutuhan pembentukan cadangan, negative spread, unprofitable, dan lain-lain. (4) Banyak bank tidak mampu menutup kewajibannya terutama karena menurunnya nilai tukar rupiah. (5) Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). (6) Modal bank atau Capital Adequacy Ratio (CAR) belum mencerminkan kemampuan riil untuk menyerap berbagai risiko kerugian. (7) Manajemen tidak professional. (8) Moral hazard.
Faktor-faktor yang mempengaruhi profitabilitas bank dapat bersumber dari berbagai kinerja operasi yang ditunjukkan beberapa indikator. Salah satu sumber utama indikator yang dijadikan dasar penilaian adalah laporan keuangan bank yang bersangkutan. Analisis laporan keuangan dapat membantu para pelaku bisnis, baik pemerintah dan para pemakai laporan keuangan lainnya dalam menilai kondisi keuangan suatu perusahaan, tidak terkecuali perusahaan perbankan (Mabruroh, 2004: 37).
Profitabilitas merupakan indikator yang paling tepat untuk mengukur kinerja suatu bank (Syofyan, 2002). Tingkat profitabilitas bank syariah di Indonesia merupakan yang terbaik di dunia diukur dari rasio laba terhadap asset (ROA), baik untuk kategori bank yang full fledge maupun untuk kategori Unit Usaha Syariah (UUS) (Karya dan Rakhman, 2006: 209). Dendawijaya (2003:
121) menyatakan bahwa dalam penentuan tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia lebih mementingkan penilaian besarnya Return On Assets (ROA) dan tidak memasukkan unsur Return On Equity (ROE), hal ini dikarenakan Bank Indonesia, sebagai Pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan asset yang dananya sebagian besar berasal dari dana simpanan masyarakat. Ukuran profitabilitas Return On Equity (ROE) digunakan untuk perusahaan pada umumnya dan Return On Assets (ROA) pada industri perbankan.
Return On Assets (ROA) memfokuskan kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam operasi perusahaan, sedangkan Return On Equity (ROE) hanya mengukur return yang diperoleh dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut (Mawardi, 2005: 85). Oleh karena itu, dalam penelitian ini ROA digunakan sebagai ukuran kinerja perbankan. Alasan dipilihnya industri perbankan karena kegiatan bank sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Serta lebih dikhususkan pada perbankan syariah karena penelitian tentang kinerja keuangan bank syariah masih jarang dilakukan.
Return On Assets (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat pengembalian semakin besar. Apabila ROA meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham (Husnan, 1998: 557).
Menurut Astuti dan Zuhrotun (2007: 124), perusahaan dengan total asset yang besar mencerminkan kemapanan perusahaan. Perusahaan yang sudah mapan biasanya kondisi keuangannya juga sudah stabil. Ukuran bank yang besar lebih diinginkan karena memungkinkan bank menyediakan menu jasa keuangan yang lebih luas (Bashir, 1999 dalam Basir, 2003). Hasil penelitian Nugraheni dan Hapsoro (2007) juga penelitian Arini (2009) mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap ROA. Namun berbeda dengan hasil penelitian Kosmidou (2008) juga penelitian Dietrich dan Wanzenried (2009) yang mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap ROA.
Capital (modal) merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja bank. Besarnya suatu modal bank akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank (Mawardi,
2005: 87). Tingginya rasio capital dapat melindungi nasabah sehingga dapat meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap bank (Werdaningtyas, 2002: 27). Beberapa penelitian menguji pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap Return On Assets (ROA). Pendlitian Werdaningtyas (2002), Mabruroh (2004), Nugraheni dan Hapsoro (2007), Wijaya (2007) ditemukan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif signifikan terhadap Return On Assets (ROA). Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Dietrich dan Wanzenried (2009) dimana kecukupan modal terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Namun hasil penelitian tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Almilia dan Herdaningtyas (2005) juga penelitian Limpphayom dan Polwitoon (2004) dimana CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA.
Aktiva produktif adalah penanaman dana bank dalam bentuk rupiah maupun valuta asing, kredit yang diberikan, surat berharga yang diterbitkan serta penempatan pada bank lain. Penilaian asset suatu bank cenderung kepada penilaian Kualitas Aktiva Produktif (KAP) untuk lebih mengetahui sejauh mana kualitas aktiva yang dimiliki sebagai salah satu faktor pendukung dalam menghasilkan laba pada suatu bank (Abdullah dan Suryanto, 2004: 27). Menurut KiDemank (2009), semakin tinggi rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) menunjukkan semakin baik kualitas aktiva produktif bank syariah, maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi kesulitan keuangan semakin kecil.
Hasil penelitian Heffernan (2008) dan Kurniawan (2009) menunjukkan bahwa kualitas aktiva produktif berpengaruh positif terhadap ROA. Namun berbeda dengan hasil penelitian Kosmidou (2008), Arini (2009), dan Sadewa (2009) yang menunjukkan bahwa kualitas aktiva produktif berpengaruh negatif terhadap ROA.
Simorangkir (2004: 141) mendefinisikan likuiditas sebagai kemampuan bank untuk melunasi kewajiban-kewajiban yang segera dapat dicairkan atau yang sudah jatuh tempo. Analisis rasio likuiditas adalah analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban yang sudah jatuh tempo. Hasil penelitian Mabruroh (2004) menunjukkan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Hal ini didukung dengan temuan hasil penelitian Basran Desfian (2004), Wijaya (2007), Astohar (2009) dan Kurniawan (2009) dimana LDR berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Namun berbeda dengan hasil penelitian Werdaningtyas (2002) dan Sutedja (2008) yang menujukkan bahwa LDR terbukti berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Hasil penelitian Werdaningtyas didukung dengan hasil penelitian Heffernan (2008) dan Kosmidou (2008) dimana likuiditas berpengaruh negatif terhadap ROA.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan perbankan yang diproksi dengan rasio Return On Assets (ROA). Akan tetapi penelitian tersebut kebanyakan masih berfokus pada bank konvensional, sedangkan yang menggunakan sampel perbankan syariah masih terbatas. Beberapa penelitian membuahkan hasil yang tidak konsisten.
Adanya inkonsistensi hasil penelitian yang telah dilakukan dan adanya fenomena gap yaitu perbedaan perkembangan data keuangan dengan teori yang ada, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kinerja keuangan khususnya pada perbankan syariah yang diproksi dengan rasio Return On Assets (ROA).
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertengahan tahun 1990 sistem keuangan Indonesia masih didominasi oleh sektor perbankan. Komposisi penguasaan pangsa pasar berubah begitu memasuki tahun 1998 menyusul dikeluarkanya kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta nasional nasional pada bulan November 1997 akibat krisis moneter. Namun tindakan pencabutan ijin usaha bank oleh pemerintah tidak berhenti sampai disitu, karena pada tanggal 4 April 1998 pemerintah menghentikan operasi tujuh bank yang kinerjanya kurang baik dan tujuh bank lainnya ditempatkan dibawah pengawasan BPPN (Tarmidzi dan Wilyanto, 2003).
Meski menghadapi tekanan akibat krisis keuangan global yang dampaknya semakin meluas, kinerja perbankan sepanjang tahun 2008 relatif stabil. Meningkatnya fungsi pengawasan dan kerjasama dengan otoritas terkait yang disertai penerbitan beberapa peraturan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah cukup efektif menjaga ketahanan perbankan dari dampak negatif gejolak pasar keuangan tersebut. Perbankan berhasil meningkatkan fungsi intermediasinya dan melaksanakan proses konsolidasi perbankan dengan hasil yang positif (Laporan Pengawasan Perbankan, 2008).
Perbankan memiliki peranan yang sangat strategis dalam menunjang berjalannya roda perekonomian dan pembangunan nasional mengingat fungsinya sebagai lembaga intermediasi, penyelenggara transaksi pembayaran, serta alat transmisi kebijakan moneter. Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 10 Tahun
1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan (Pasal 6 huruf m) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998, praktek perbankan berdasarkan prinsip bagi hasil dimungkinkan untuk dilakukan di Indonesia. Bank syariah merupakan salah satu lembaga perantara (intermediary) yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil (profit sharing). Perbankan syariah adalah salah satu representasi aplikasi ekonomi Islam yang melarang penggunaan sistem bunga dalam perekonomian, karena sistem tersebut dianggap riba yang dilarang oleh agama. Hal ini disebabkan penerapan sistem ribawi tidak hanya membawa kehancuran ekonomi, tetapi juga kerusakan moral di masyarakat (Antonio, 2001: 77).
Kegiatan bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada dasarnya merupakan perluasan jasa perbankan bagi masyarakat yang membutuhkan dan menghendaki pembayaran imbalan yang tidak didasarkan pada sistem bunga melainkan atas dasar prinsip bagi hasil jual beli sebagaimana digariskan syariat Islam. Prinsip syariat Islam yang dimaksud yaitu bank dalam kegiatan operasionalnya mengikuti ketentuan-ketentuan syariat Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islami misalnya dengan menjauhi praktek-praktek yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan (Siamat, 1999: 124). Diperkenankannya bank melakukan kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil diharapkan akan dapat saling melengkapi dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya yang telah terlebih dahulu dikenal dalam sistem perbankan Indonesia. Di samping itu pendirian jenis bank bagi hasil tersebut akan dapat memberi pelayanan kepada bagian masyarakat yang karena prinsip agama atau kepercayaan tidak bersedia memanfaatkan jasa- jasa bank konvensional.
Bank syariah karena sifatnya sebagai bank berdasarkan prinsip syariah wajib memposisikan diri sebagai ”uswatun hasanah” dalam implementasi moral dan etika bisnis yang benar atau melaksanakan etika dan moral agama dalam aktivitas ekonomi. Adanya bank Islam diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank Islam. Melalui pembiayaan ini bank Islam dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan bank Islam dengan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan.
Pada era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia merupakan yang paling pesat baik dari segi bertambahnya bank yang menawarkan produk syariah maupun dari segi pertumbuhan asetnya (Karya dan Rakhman, 2006: 209). Dalam kurun waktu terakhir, perbankan syariah mencapai pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 35% per tahun. Hal itu terlihat dari peningkatan aset perbankan syariah menjadi 2,1% dari keseluruhan aset perbankan senilai Rp 50 triliun. Kredit yang disalurkan mencapai Rp 38 triliun dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat) mencapai Rp 326 miliar. Sedangkan pembiayaan dari perbankan syariah naik dari Rp 5 triliun pada tahun 2003 menjadi Rp 27,94 triliun pada tahun 2007, dan Rp 38,19 triliun pada tahun 2008. Berdasarkan prediksi Mc Kinsey tahun 2008, total aset pasar perbankan syariah global pada tahun 2006 mencapai 0,75 miliar dolar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27% per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19% per tahun (Agustianto, 2010).
Perkembangan total asset tahun 2007 ke tahun 2008 tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin besar total aktiva yang merupakan salah satu alat ukuran perusahaan, akan meningkatkan ROA (Return On Assets). Pada tahun 2008 total asset BUS dan UUS (Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah) meningkat sebesar 13,017 miliar rupiah dari tahun 2007, namun ROA BUS dan UUS menunjukkan penurunan sebesar 0,65%. Begitu pula yang terjadi pada Capital Adequacy Ratio (CAR). Capital Adequacy Ratio (CAR) seharusnya berbanding lurus dengan ROA, dimana apabila semakin tinggi CAR maka akan semakin baik kinerja suatu bank yang dalam hal ini diproksikan dengan ROA. CAR pada tahun 2007 mengalami penurunan dari tahun 2006 sebesar 3,06%, namun ternyata pada tahun 2007 ROA meningkat sebesar 0,52% dari tahun 2006. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2009 dimana CAR turun sebesar 2,04% dari tahun 2008, tetapi ROA cenderung meningkat walaupun peningkatannya hanya sebesar 0,06% dari tahun 2008.
Pembiayaan bermasalah yang diproksi dengan rasio NPF (Non Performing Financing) pada tabel 1.1 di atas juga kurang sesuai dengan teori, dimana semakin tinggi pembiayaan bermasalah (rasio NPF) seharusnya justru akan menurunkan ROA. Seperti pada tahun 2006, rasio NPF mengalami peningkatan dari tahun 2005 sebesar 1,93%, namun ROA mengalami peningkatan sebesar 0,2%. Tahun 2009 juga kembali terjadi ketidaksesuaian dengan teori dimana pada tahun 2009 pembiayaan bermasalah menunjukkan peningkatan sebesar 2,59% dari tahun 2008 yang diikuti dengan peningkatan rasio NPF sebesar 0,06% pada tahun 2009. Rasio likuiditas yang diproksikan dengan FDR (Financing to Deposit Ratio) juga menunjukkan arah yang berbeda dengan perkembangan rasio ROA (Return On Assets). Pada tahun 2008 FDR meningkat sebesar 3,89% dari tahun 2007, tetapi ROA menunjukkan penurunan sebesar
0,65%. Kondisi yang sama juga terjadi pada tahun 2009 dimana FDR mengalami penurunan sebesar 13,95% dari tahun 2008, namun ROA justru mengalami peningkatan sebesar 0,06% dari tahun 2008.
Perkembangan perbankan syariah seperti yang telah diuraikan di atas tidak lepas dari peran pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan sektor perbankan yaitu Paket Deregulasi 27
Oktober 1988 (Pakto 88) yang diperbaharui dengan paket deregulasi 29 Mei 1993. Pakto 88 ini antara lain berisi usaha yang harus dilakukan oleh sektor perbankan dalam peningkatan pengerahan dana masyarakat dengan cara pendirian bank-bank baru atau pembukaan kantor-kantor cabang (Hastuti dan Kussudyarsana, 2007: 2).
Kondisi persaingan antar bank yang begitu ketat dan ancaman likuidasi bagi bank-bank yang bermasalah membuat para bankir harus bekerja lebih keras untuk terus meningkatkan kinerjanya sehingga kesehatan bank dapat dijaga bahkan dipertahankan. Tingkat kesehatan bank merupakan suatu nilai yang harus dipertahankan oleh tiap bank, karena baik buruknya tingkat kesehatan bank akan mempengaruhi tingkat kepercayaan pihak-pihak yang berhubungan dengan bank yang bersangkutan. Bank juga merupakan sebuah perusahaan, karena itu persoalan likuiditas dan solvabilitas adalah persoalan yang amat penting dan berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat, nasabah juga pemerintah. Oleh karena itu sangat penting untuk mempertahankan kepercayaan publik terhadap kinerja perbankan.
Perkembangan di dunia perbankan yang sangat pesat serta tingkat kompleksitas yang tinggi, dapat berpengaruh terhadap performa suatu bank. Kompleksitas usaha perbankan yang tinggi dapat meningkatkan risiko yang dihadapi oleh bank-bank yang ada di Indonesia. Lemahnya kondisi bank seperti manajemen yang kurang memadai, pemberian kredit kepada kelompok atau grup usaha sendiri serta modal yang tidak dapat mengcover terhadap risiko-risiko yang dihadapi oleh bank tersebut menyebabkan kinerja bank menurun. Penurunan kinerja bank dapat menurunkan pula kepercayaan masyarakat.
Dalam seminar restrukturisasi perbankan di Jakarta 1998 (Etty M. Naser dan Titik Aryati, 2000: 111) menyimpulkan beberapa penyebab menurunnya kinerja bank, antara lain: (1) Semakin meningkatnya kredit bermasalah perbankan. (2) Dampak likuidasi bank-bank 1 November 1997 yang mengakibatkan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan pemerintah, sehingga memicu penarikan dana secara besar-besaran. (3) Semakin turunnya permodalan bank- bank dan bahkan diantaranya negative net worth, karena adanya kebutuhan pembentukan cadangan, negative spread, unprofitable, dan lain-lain. (4) Banyak bank tidak mampu menutup kewajibannya terutama karena menurunnya nilai tukar rupiah. (5) Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). (6) Modal bank atau Capital Adequacy Ratio (CAR) belum mencerminkan kemampuan riil untuk menyerap berbagai risiko kerugian. (7) Manajemen tidak professional. (8) Moral hazard.
Faktor-faktor yang mempengaruhi profitabilitas bank dapat bersumber dari berbagai kinerja operasi yang ditunjukkan beberapa indikator. Salah satu sumber utama indikator yang dijadikan dasar penilaian adalah laporan keuangan bank yang bersangkutan. Analisis laporan keuangan dapat membantu para pelaku bisnis, baik pemerintah dan para pemakai laporan keuangan lainnya dalam menilai kondisi keuangan suatu perusahaan, tidak terkecuali perusahaan perbankan (Mabruroh, 2004: 37).
Profitabilitas merupakan indikator yang paling tepat untuk mengukur kinerja suatu bank (Syofyan, 2002). Tingkat profitabilitas bank syariah di Indonesia merupakan yang terbaik di dunia diukur dari rasio laba terhadap asset (ROA), baik untuk kategori bank yang full fledge maupun untuk kategori Unit Usaha Syariah (UUS) (Karya dan Rakhman, 2006: 209). Dendawijaya (2003:
121) menyatakan bahwa dalam penentuan tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia lebih mementingkan penilaian besarnya Return On Assets (ROA) dan tidak memasukkan unsur Return On Equity (ROE), hal ini dikarenakan Bank Indonesia, sebagai Pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank yang diukur dengan asset yang dananya sebagian besar berasal dari dana simpanan masyarakat. Ukuran profitabilitas Return On Equity (ROE) digunakan untuk perusahaan pada umumnya dan Return On Assets (ROA) pada industri perbankan.
Return On Assets (ROA) memfokuskan kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dalam operasi perusahaan, sedangkan Return On Equity (ROE) hanya mengukur return yang diperoleh dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut (Mawardi, 2005: 85). Oleh karena itu, dalam penelitian ini ROA digunakan sebagai ukuran kinerja perbankan. Alasan dipilihnya industri perbankan karena kegiatan bank sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Serta lebih dikhususkan pada perbankan syariah karena penelitian tentang kinerja keuangan bank syariah masih jarang dilakukan.
Return On Assets (ROA) digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan di dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Semakin besar ROA menunjukkan kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat pengembalian semakin besar. Apabila ROA meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham (Husnan, 1998: 557).
Menurut Astuti dan Zuhrotun (2007: 124), perusahaan dengan total asset yang besar mencerminkan kemapanan perusahaan. Perusahaan yang sudah mapan biasanya kondisi keuangannya juga sudah stabil. Ukuran bank yang besar lebih diinginkan karena memungkinkan bank menyediakan menu jasa keuangan yang lebih luas (Bashir, 1999 dalam Basir, 2003). Hasil penelitian Nugraheni dan Hapsoro (2007) juga penelitian Arini (2009) mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap ROA. Namun berbeda dengan hasil penelitian Kosmidou (2008) juga penelitian Dietrich dan Wanzenried (2009) yang mengungkapkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap ROA.
Capital (modal) merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja bank. Besarnya suatu modal bank akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank (Mawardi,
2005: 87). Tingginya rasio capital dapat melindungi nasabah sehingga dapat meningkatkan kepercayaan nasabah terhadap bank (Werdaningtyas, 2002: 27). Beberapa penelitian menguji pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap Return On Assets (ROA). Pendlitian Werdaningtyas (2002), Mabruroh (2004), Nugraheni dan Hapsoro (2007), Wijaya (2007) ditemukan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif signifikan terhadap Return On Assets (ROA). Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Dietrich dan Wanzenried (2009) dimana kecukupan modal terbukti berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Namun hasil penelitian tersebut bertentangan dengan hasil penelitian Almilia dan Herdaningtyas (2005) juga penelitian Limpphayom dan Polwitoon (2004) dimana CAR berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA.
Aktiva produktif adalah penanaman dana bank dalam bentuk rupiah maupun valuta asing, kredit yang diberikan, surat berharga yang diterbitkan serta penempatan pada bank lain. Penilaian asset suatu bank cenderung kepada penilaian Kualitas Aktiva Produktif (KAP) untuk lebih mengetahui sejauh mana kualitas aktiva yang dimiliki sebagai salah satu faktor pendukung dalam menghasilkan laba pada suatu bank (Abdullah dan Suryanto, 2004: 27). Menurut KiDemank (2009), semakin tinggi rasio Kualitas Aktiva Produktif (KAP) menunjukkan semakin baik kualitas aktiva produktif bank syariah, maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi kesulitan keuangan semakin kecil.
Hasil penelitian Heffernan (2008) dan Kurniawan (2009) menunjukkan bahwa kualitas aktiva produktif berpengaruh positif terhadap ROA. Namun berbeda dengan hasil penelitian Kosmidou (2008), Arini (2009), dan Sadewa (2009) yang menunjukkan bahwa kualitas aktiva produktif berpengaruh negatif terhadap ROA.
Simorangkir (2004: 141) mendefinisikan likuiditas sebagai kemampuan bank untuk melunasi kewajiban-kewajiban yang segera dapat dicairkan atau yang sudah jatuh tempo. Analisis rasio likuiditas adalah analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya atau kewajiban yang sudah jatuh tempo. Hasil penelitian Mabruroh (2004) menunjukkan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Hal ini didukung dengan temuan hasil penelitian Basran Desfian (2004), Wijaya (2007), Astohar (2009) dan Kurniawan (2009) dimana LDR berpengaruh positif signifikan terhadap ROA. Namun berbeda dengan hasil penelitian Werdaningtyas (2002) dan Sutedja (2008) yang menujukkan bahwa LDR terbukti berpengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Hasil penelitian Werdaningtyas didukung dengan hasil penelitian Heffernan (2008) dan Kosmidou (2008) dimana likuiditas berpengaruh negatif terhadap ROA.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan perbankan yang diproksi dengan rasio Return On Assets (ROA). Akan tetapi penelitian tersebut kebanyakan masih berfokus pada bank konvensional, sedangkan yang menggunakan sampel perbankan syariah masih terbatas. Beberapa penelitian membuahkan hasil yang tidak konsisten.
Adanya inkonsistensi hasil penelitian yang telah dilakukan dan adanya fenomena gap yaitu perbedaan perkembangan data keuangan dengan teori yang ada, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kinerja keuangan khususnya pada perbankan syariah yang diproksi dengan rasio Return On Assets (ROA).
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (BUKAN pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini