Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasional Terhadap Turnover Intentions (Studi Empiris pada Novotel Semarang) (196)

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang

Sumber daya manusia (SDM) merupakan satu-satunya aset penting organisasi yang dapat menggerakkan sumber daya lainnya. Sumber daya manusia dapat mempengaruhi efisiensi dan efektivitas organisasi (Simamora, 2006). Hal tersebutlah yang membuat para pebisnis hotel sadar akan nilai investasi karyawan sebagai sumber daya manusia. Dimana saat ini mengumpulkan tenaga kerja yang cakap dan berkinerja baik semakin sulit dilakukan, terlebih lagi mempertahankan yang sudah ada. Mereka harus memprioritaskan untuk menemukan, mempekerjakan, memotivasi, melatih, mengembangkan karyawan yang paling dekat dengan budaya hotel dan performa yang dikehendaki, serta mempertahankan karyawan berkualitas (Pophal, 2006).



Disinilah dituntut adanya peranan penting manajemen sumber daya manusia (MSDM) dalam sebuah bisnis hotel. Manajemen sumber daya manusia adalah aktivitas yang penting disebuah organisasi. Organisasi perlu me-manage sumber daya manusia untuk mencapai tujuannya secara efektif, dengan senantiasa melakukan investasi untuk penerimaan, penyeleksian dan mempertahankan sumber daya manusia yang potensial agar tidak berdampak pada perpindahan karyawan (Anis et al., 2003).

Perpindahan karyawan (employee turnover) adalah suatu fenomena yang sering terjadi dalam industri perhotelan (hospitality industry). Turnover dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja keluar dari organisasi. Turnover mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi suatu organisasi berupa jumlah karyawan yang meninggalkan organisasi pada periode tertentu, sedangkan keinginan karyawan untuk berpindah (turnover intentions) mengacu pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungan dengan organisasi yang belum diwujudkan dalam tindakan pasti meninggalkan organisasi. Turnover dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi, pemberhentian atau kematian anggota organisasi.

Saat ini tingginya tingkat turnover karyawan telah menjadi masalah serius bagi banyak perusahaan. Woods dan Macaulay (1989) menjelaskan bahwa turnover yang tinggi pada hospitality industry dapat mengganggu operasi, melahirkan permasalahan moral pada karyawan yang tinggal, dan juga melambungkan biaya dalam rekrutmen, wawancara, tes, pengecekan referensi, biaya administrasi pemrosesan karyawan baru, tunjangan, orientasi, dan biaya peluang yang hilang karena karyawan harus mempelajari keahlian yang baru. Rousseau (1984) menambahkan bahwa biaya atau kerugian atas adanya turnover meliputi biaya langsung yang terkait dengan kegiatan rekrutmen (antara lain biaya iklan, biaya agen) dan biaya pencarian; biaya tidak langsung misalnya biaya biaya yang berhubungan dengan pelatihan karyawan baru; dan kerugian produktivitas oleh proses pembelajaran karyawan baru.

Banyak hal yang disinyalir sebagai penyebab keluarnya seorang karyawan dari suatu pekerjaan. Situasi kerja yang dihadapi saat ini tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan (timbulnya ketidakpuasan dalam bekerja) atau dipengaruhi oleh pandangan karyawan untuk mendapatkan alternatif pekerjaan dan kepuasan yang lebih baik. Dengan demikian, suatu perusahaan dituntut untuk dapat mempertahankan karyawannya, seperti mampu memberikan balas jasa tinggi dan memahami hal-hal yang mampu membuat karyawannya kerasan untuk tetap bekerja tanpa menurunkan kinerja perusahaan tersebut secara keseluruhan.
Turnover karyawan juga terjadi pada salah satu International Chain Hotel


berbintang 5 (lima), Novotel Semarang yang berlokasi di Jl. Pemuda Semarang. Novotel Semarang yang didirikan pada bulan Mei 2005 merupakan salah satu Accor Group Hotel yang memiliki + 250 karyawan. Dari jumlah karyawan tersebut, 40% adalah karyawan out-sourching, karyawan casual dan karyawan magang. Sedangkan 60% adalah karyawan yang langsung direkrut dan diseleksi langsung oleh manajemen Novotel Semarang, dan kemudian disebut sebagai karyawan tetap. Seluruh karyawan tetap Novotel Semarang akan digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini.

Perekrutan karyawan di hotel tersebut adalah dengan sistem kontrak. Karyawan dikontrak untuk bekerja selama 2 (dua) tahun, dengan masa percobaan 3 – 6 bulan dan setelah itu baru dilakukan evaluasi untuk memutuskan apakah karyawan yang bersangkutan akan diangkat menjadi karyawan tetap, tetap dalam posisi kontrak sebagai karyawan atau diadakan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan tersebut. Sistem seperti inilah yang merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap tingkat turnover yang relatif tinggi pada perusahaan tersebut.


Walaupun belum mencapai setengahnya, angka turnover tinggi yang terjadi di salah satu hotel bintang lima dengan standar internasional ini cukup mengundang perhatian. Suatu perusahaan besar pada industri perhotelan (hospitality industry) bisa mengalami turnover karyawan yang tinggi. Padahal dengan nama yang besar dan citra perusahaan yang tergolong baik, Novotel Semarang seharusnya mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan angka turnover yang rendah. Apalagi Novotel Semarang merupakan salah satu International Chain Hotel dari Accor Group Management yang merupakan hospitality industry group ternama di dunia dengan reputasi yang baik, dan selalu mampu menciptakan program-program menarik yang dapat mendukung kebutuhan karyawannya.

Dalam menciptakan karyawan yang berkualitas dan mempunyai komitmen pada perusahaan, Accor menciptakan suatu program karyawan bernama ‘quality-circle program’, yang merupakan wadah consultant and management organization bagi top management dan karyawan Accor Group di seluruh dunia. Anggota yang boleh bergabung dalam program ini hanyalah para manejer yang berfungsi sebagai wakil hotel yang akan membawa informasi maupun masalah untuk dibahas dalam forum program ini, dan kemudian membawa hasilnya kembali ke hotel untuk diterapkan di sana. Efektifitas dari quality-circle program antara lain mampu membantu top management dan karyawan pada masing-masing hotel dalam mengatasi masalah, pertukaran informasi antar sesama hotel, menciptakan karyawan hotel yang berkomitmen tinggi dan mencegah terjadinya turnover karyawan (Orly, 1988).
Selain itu, Accor juga membangun sekolah khusus dalam hospitality industry untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan karyawan hotel. Sehingga karyawan merasa bangga menjadi bagian dari manejemen Accor. Maka, dapat diprediksi bahwa karyawan Accor akan merasa puas dan mau berkomitmen pada hotel, sehingga angka turnover karyawan menjadi rendah.

Namun kenyataan berbanding terbalik, dan reputasi Novotel Semarang dalam menciptakan lingkungan kerja yang baik menjadi pertanyaan. Apa yang menyebabkan karyawan Novotel Semarang ingin keluar dari perusahaan dan bahkan telah meninggalkan perusahaan. Dan seberapa besar tingkat kepuasan dan komitmen karyawan Novotel Semarang yang sedang bekerja di situ terhadap perusahaan tersebut.

Disadari atau tidak, keinginan berpindah karyawan (turnover intentions) Novotel Semarang yang berujung pada keluarnya karyawan membawa dampak negatif bagi perusahaan. Sebab disamping dapat menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian terhadap kondisi tenaga kerja, juga peningkatan biaya pelatihan yang sudah diinvestasikan pada karyawan sampai biaya rekrutmen dan pelatihan kembali. Turnover juga mengakibatkan perusahaan tidak efektif karena kehilangan karyawan yang berpengalaman dan ini berarti Novotel Semarang perlu melatih kembali karyawan baru (Woods dan Macaulay, 1989). Hal ini berdampak pada terganggunya operasi Novotel Semarang, sehingga menimbulkan kerugian dari sisi moral maupun financial.

Tingginya tingkat turnover karyawan pada hospitality industry dapat dilihat dari seberapa besar keinginan berpindah yang dimiliki karyawan suatu organisasi atau perusahaan. Beberapa penelitian dan literatur menunjukkan bahwa intention to leave atau turnover intentions mengacu pada niat karyawan untuk mencari alternatif pekerjaan lain dan belum terwujud dalam perilaku nyata (Pasewark dan Strawser, 1996). Keinginan berpindah seseorang terkait erat dengan kepuasan kerja dan komitmen organisasional (DeMicco dan Reid, 1988).

Kepuasan kerja didefinisikan sebagai sikap umum individu terhadap pekerjaannya (Robbins, 2006). Dalam hal ini adalah karyawan. Karyawan dapat menilai seberapa puas atau tidak puas dirinya dengan pekerjaannya. Kepuasan kerja juga dapat digambarkan sebagai “memiliki sikap positif terhadap pekerjaan pada diri seseorang” (Vroom, 1964). Bukti-bukti penelitian terhadap kepuasan kerja dapat dilihat dari beberapa kategori seperti kepemimpinan, kebutuhan psikologis, penghargaan atau usaha, manajemen ideologi dan nilai-nilai, serta faktor-faktor rancangan pekerjaan dan muatan kerja.
Kepuasan kerja dapat memiliki pengaruh yang substansial pada keinginan keluar individu pada industri perhotelan (hospitality industry). Karyawan hotel dengan tingkat kepuasan kerja tinggi lebih jarang meninggalkan meninggalkan pekerjaannya dibandingkan karyawan dengan tingkat kepuasan kerja rendah (DeMicco dan Reid, 1988).

Ketidakpuasan kerja telah sering diidentifikasikan sebagai suatu alasan penting yang dapat menyebabkan individu meninggalkan pekerjaannya (Hullin et al., 1985). Selain itu, ketidakpuasan kerja seorang karyawan juga menimbulkan berbagai masalah, seperti meningkatnya tingkat absen karyawan, perilaku kerja pasif serta dapat merusak atau mengganggu kinerja pekerja lain (DeMicco dan Reid, 1988).

DeMicco dan Reid, (1988), menjelaskan bahwa kepuasan kerja bukan merupakan penyebab langsung seorang karyawan pada hospitality industry mengambil keputusan untuk keluar dari hotel. Kepuasan kerja merupakan hal penting bagi suatu hotel, karena karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaannya akan cenderung mempromosikan hotelnya sebagai tempat yang baik dan menyenangkan untuk bekerja. Selanjutnya peningkatan reputasi hotel tersebut akan menarik para pelamar kerja baru kepada perusahaan. Kepuasan kerja juga meningkatkan produktivitas kelompok atau organisasi melalui peningkatan kerja sama tim dan komunikasi.

Oleh karena itu, para pengusaha maupun manejemen hotel dituntut untuk lebih memperhatikan dan memahami hal-hal yang diinginkan karyawannya. Apalagi dalam persaingan pada pasar tenaga kerja perhotelan, dimana para karyawannya sudah memiliki pengetahuan dan keahlian khusus dalam menangani semua pekerjaan hospitality industry. McCleary dan Weaver (1988) menyebutkan bahwa ada 16 (enam belas) kategori yang harus dipahami manejemen SDM hotel dalam mengelola sumber daya manusianya. Keenambelas kategori tersebut antara lain kesempatan promosi, pekerjaan yang menarik, tanggung jawab, kondisi kerja, apresiasi, job security, training program, loyalitas personal, gaji dan tunjangan yang baik, rekan kerja, supervisi, lokasi kerja, jam kerja, keinginan untuk menjadi bagian dari perusahaan hotel dan simpati dalam membantu karyawan menyelesaikan masalah. Dengan begitu, kepuasan kerja karyawan hotel pun semakin meningkat.

Penyebab lain dari adanya keinginan berpindah karyawan adalah menurunnya tingkat komitmen organisasi dari karyawan. Dalam penelitian Meyer et al., (1993) ditunjukkan bahwa peningkatan komitmen berhubungan dengan peningkatan produktivitas dan turnover yang semakin rendah. Komitmen adalah salah satu aspek penting dari filosofi human resources management (HRM). Pengertian komitmen itu sendiri berkembang tidak lagi sekedar berbentuk kesediaan karyawan menetap di organisasi dalam jangka waktu lama, tetapi lebih dari itu, karyawan mau memberikan yang terbaik dan bahkan bersedia untuk bersikap loyal terhadap organisasi. Apabila kepuasan kerja lebih merefleksikan respon seorang pekerja terhadap pekerjaan atau beberapa aspek dalam pekerjaannya dimana aktivitas harian mungkin akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja, maka komitmen organisasi bersifat lebih luas, yaitu mencerminkan respon afektif seorang pekerja kepada organisasi secara keseluruhan (DeMicco dan Reid, 1988).

Komitmen organisasional menjadi sangat penting bagi organisasi, khususnya pada hospitality industry, karena komitmen organisasional disinyalir sebagai prediktor yang lebih baik bagi turnover intentions dibandingkan dengan kepuasan kerja. Seorang individu masuk ke dalam suatu organisasi dengan bermacam kebutuhan, keinginan dan kemampuan, dan mereka berharap dapat menemukan sebuah lingkungan kerja dimana individu tersebut dapat menggunakan kemampuan serta memenuhi berbagai macam kebutuhan dasarnya. Saat individu tersebut menemukan peluang-peluang tersebut dalam pekerjaannya, maka komitmen terhadap organisasi akan meningkat. Sebaliknya, saat perusahaan gagal memberikan pemenuhan kebutuhan, maka komitmen terhadap organisasi cenderung menurun. Karyawan dengan tingkat komitmen organisasi tinggi akan menunjukkan kinerja yang baik, tingkat turnover intentions rendah dan tingkat absensi rendah (DeMicco dan Reid, 1988).

Lee et al., (1992) menambahkan bahwa komitmen organisasional merupakan prediktor yang kuat bagi voluntary turnover. Adanya kecenderungan komitmen sebelum memasuki organisasi akan berhubungan positif dengan komitmen awal (sebelum memasuki organisasi) dan komitmen berikutnya (setelah masuk organisasi) akan berhubungan negatif dengan voluntary turnover sehingga kepuasan kerja karyawan akan berpengaruh oleh komitmen pada tahap awal memasuki organisasi (Lance dan Vandenberg, 1992).

Dalam penelitiannya, Anis et al., (2003) mengemukakan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasional secara signifikan bersama-sama berpengaruh negatif terhadap turnover intensions. Andini (2006) dalam penelitiannya menemukan pengaruh positif kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan, maka semakin tinggi pula komitmen organisasional karyawan tersebut.

Tingkat turnover karyawan yang tinggi merupakan ukuran yang sering digunakan sebagai indikasi adanya masalah yang mendasar pada organisasi. Turnover karyawan dapat menelan biaya yang tinggi. Oleh karena itu organisasi perlu menguranginya sampai pada tingkat-tingkat yang dapat diterima. Namun demikian, mempertahankan tingkat perputaran sebesar nol adalah tidak realistis dan bahkan tidak dikehendaki.
Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti di atas,penelitian ini akan melakukan pengujian kembali terhadap beberapa faktor yang diprediksi berpengaruh terhadap keinginan berpindah karyawan. Faktor-faktor tersebut adalah kepuasan kerja dan komitmen organisasional.

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (BUKAN  pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini

Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
Cara Seo Blogger